Jumat, 25 November 2011

Setu Babakan Kampung Betawi yang Tersisa


Setu Babakan Kampung Betawi yang Tersisa



Mengenal budaya Betawi, rasanya kurang afdol tanpa menjejakan kaki di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Karena bisa dibilang Perkampungan Budaya Betawi yang terletak di Jalan Setu Babakan ini merupakan pusat dari kebudayaan Betawi yang tersisa.

Sebagai Ibukota negara, Jakarta mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pembangunan di semua sisi gencar d
ilakukan oleh pemerintah. Gedung-gedung bertingkat dibangun di hampir tiap sudut kota. Infrastruktur untuk penunjang denyut kota juga dibangun dan diperluas. Perkembangan ini seakan memberikan pengharapan yang besar bagi masyarakat diluar Jakarta.

Tak salah jika dalam sekejap Jakarta menjadi tujuan utama para pendatang. Dari 13 juta penduduk Jakarta, bisa dibilang sebagian besarnya adalah warga pendatang yang mencoba mengadu nasib di ibukota. Sementara warga asli yang dikenal sebagai penduduk Betawi tersingkarkan ke tepi Jakarta.
Jakarta yang kini sudah tidak lagi milik orang Betawi tidak sama sekali meninggalkan corak budaya aslinya. Corak Betawi di Jakarta hampir tidak terlihat lagi, walaupun ada hanya sebatas aksen penduduknya saja. Saat ini budaya Jakarta sudah merupakan campuran dari berbagai macam budaya yang dibawa penduduknya.

Melihat budaya Betawi tersingkirkan oleh roda pertumbuhan kota Jakarta, para tokoh Betawi merasa cemas dan berinisiatif untuk mendirikan suatu kampung budaya. Hal ini untuk menjaga agar budaya Ibu kota Jakarta tidak lenyap diterjang pertumbuhan. Inisiatif ini pun disambut dengan gembira oleh Dinas Pariwisata DKI Jakarta.

Akhirnya melalui SK Gubernur No 92 Thn 2000 ditetapkanlah daerah SetuBabakan di bilangan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, sebagai kampung budaya. Dipilihnya Setu Babakan bukan tanpa alasan, selain
terdapat aset Pemda yakni Danau Setu Babakan, komunitas Betawi Sekitar Setu Babakan masih memegang budayanya. Sebelum ditetapkannya daerah Setu Babakan, muncul beberapa wilayah lain di DKI Jakarta sebagai kandidat, seperti Rorotan, Kemayoran Srengseng Jakarta Barat dan Condet.

“Masyarakat sekitar Setu babakan masih kental dengan budaya Betawi dalam kehidupan sehari-harinya sehingga bisa mewakili budaya Betawi secara keseluruhan,” ujar salah satu pengurus Perkampungan Budaya Betawi.

Kini setelah 10 tahun berdiri, Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan terus melakukan pembenahan diri, walau belum signifikan dan masih banyak sudut-sudut di perkampungan tersebut yang tak sedap dipandang, namun usaha pengelola dan jajarannya patut diacungi jempol.

Tak pelak, usaha yang dilakukan pun mendatangkan hasil. Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan mulai ramai dikunjungi wisatawan, apalagi setiap hari libur., hiburan yang ditawarkan pun tak lepas dengan budaya Betawi. Setiap hari Minggu, pengunjung disuguhi pagelaran yang menampilkan kesenian khas Betawi seperti Gambang Kromong, Lenong, musik Samrah dan
Topeng Betawi.

Selain itu, bila menelusuri perkampungan seluas 105 hektar ini, pengunjung dapat menikmati rumah-rumah penduduk yang dibangun dengan nuansa Betawi. Rumah-rumah berbentuk khas ini sekarang sudah jarang ditemui di kota Jakarta. Memang unsur modernisasi terlihat dalam rumah-rumah tersebut tetapi arsitektur tetap kental dengan atmosfer Betawi. Hal ini mengingatkan kita akan Betawi tempo dulu.

Sementara itu, danau yang berada dalam kawasan perkampungan berfungsi ganda. Selain sebagai penampung air, Setu ini juga dimanfaaatkan sebagai wisata air. Didanau seluas 65 hektar ini tersedia hiburan menarik berupa motor air dengan tarif yang terjangkau. Dan bagi yang berminat danau ini juga menyediakan areal pemancingan.

Tempat wisata
kerap identik dengan makanan. Begitu juga disini, beragam makanan pun banyak dijajakan. Dereta
n penjaja makanan ini seakan tidak berujung, berjejer rapi di tepi danau. Makanan yang ditawarkan ini tentunya tentunya merupakan makanan khas Betawi. Ada Kerak Telor, Dodol Betawi, Rengginang, Geplak dan Sagon. Makanan ini dijajakan masyarakat dengan harga relatif murah.

Tapi selain berbagai paket wisata unik dan seru yang bisa kita jumpai di tempat ini. Ternyata Setu Babakan juga memiliki aturan khusus yang juga masih berakar pada Budaya Betawi. Diantaranya. Pengunjung diharapkan sudah meninggalkan lokasi mulai pukul 18.00 (Wib), karena menurut pengelola jika pengunjung masih di sini di atas pukul enam tersebut, bisa jadi niatnya sudah bukan lagi berekreasi namun lebih ke hal-hal negatif.

Kemudian yang unik lagi semua kegiatan di tempat ini di usahakan berhenti ketika terdengar suara adzan. “Yah, meskinpun cuma lima menit diusahain berenti dulu dah aktivitas kalo lagi adzan,” tutur Bang Indra. Dan di tempat ini sangat dilarang berjualan minuman keras.
repost: Abam Is

Jumat, 11 November 2011

MENGENANG CONDET

Padahal, dulu banyak orang optimistis Condet bakal menjadi trade mark Jakarta. Berbatasan dengan bekas terminal bus Cililitan dan Pasar Minggu, Condet salah satu kawasan yang 90% penduduknya asli Betawi. Condet tahun 1970-an, versi Condet, Cagar Budaya Betawi karangan Ran Ramelan, terdiri atas kelurahan Kampungtengah, Batuampar, dan Balekambang. Luas selu-ruhnya 632 ha. Balekambang rata-rata dihuni 28 jiwa/ha, Batuampar 35 jiwa/ha, dan Kampungtengah 40 jiwa/ha. Bandingkan dengan tingkat hunian rata-rata di DKI saat itu yang 100 jiwa/ha. Condet kaya akan kebun berpohon rindang. Udaranya bersih, penuh kicauan burung kakak tua jambul putih, bayan, nuri, dan banyak lagi. Monyet melompat dari pohon ke pohon. Rata-rata orang Condet bertanam buah-buahan, terutama duku dan salak. “Salak Condet bahkan masuk buku teks wajib anak-anak SD zaman Belanda, karangan W. Hoekendijk,” bilang Dra. Tinia Budiati, M.A., penulis The Preservation of Betawi Culture and Agriculture in the Condet Area, yang juga direktur Museum Sejarah Jakarta. Pohon duku di Condet banyak yang sudah berumur puluhan tahun. Saat musim duku tiba, hampir saban malam kaum lelakinya meronda di atas pohon, yang punya dahan liat dan kuat. Mereka berjaga dari codot dan kalong, yang konon hanya takut pada pohon yang “dihinggapi manusia”. Condet juga penghasil pisang (terkenal besar dan manis), durian, dan melinjo yang diolah jadi emping. Kabarnya, emping Condet sangat gurih. Kalau di tempat lain, sebelum digecek, melinjo direbus lebih dahulu. Nah, di Condet, melinjo tidak direbus, melainkan dinyanya alias digoreng. Kekhasan Condet juga terlihat dari bahasa Betawi yang mereka gunakan, adat istiadat yang banyak mengambil nilai-nilai Islam, serta bentuk rumah mereka. Rumah asli Condet berlantai tanah, berdinding kayu. Jendelanya dinamai jendela bujang (bertirai batang bambu). Disebut jendela bujang, karena kerap dimanfaatkan bujang untuk mengintip calon istrinya yang dipingit di balik beranda. Serambi muka terbuka, hanya dibatasi pagar kayu setinggi pinggang serta ornamen khas di lisplang. Di belakang beranda ada pangkeng atau kamar tidur. Di antara tiga kelurahan tadi, Balekambang yang paling kuat memegang tradisi. Mereka sangat fanatik dengan sekolah agama. Untuk mendapat ilmu yang lebih tinggi, tak jarang para pemudanya bertualang ke Suriah atau Mesir. Mereka lebih fasih memainkan gambus dan qasidah. Lenong dan gambang keromong masih dianggap sebagai punye orang luar. Leluhur Balekambang bahkan beranggapan, daerah mereka “terlarang” buat orang asing. Pendatang yang hendak berniaga, harus siap-siap bangkrut. “Kutukan” yang kini tak lagi terbukti.

CONDET


Memasuki kawasan Condet dari arah Cililitan dikenal sebagai salah satu pusat kemacetan di Jakarta Timur. Padahal Condet, yang terdiri dari tiga kelurahan (Bale Kambang, Batu Ampar dan Kampung Tengah) luasnya 632 hektare kira-kira lebih separuh lapangan Monas pernah hendak dijadikan Cagar Budaya Betawi. Alasan Bang Ali 30 tahun lalu, karena 90 persen masyarakatnya asli Betawi. Kala itu, 60 persen penduduk Condet petani salak dan duku, 20 persen buah-buahan lainnya, dan hanya 15 persen buruh/karyawan.
Kini, kebun dan tanah pertanian berubah jadi perumahan dan gedung bertingkat. Tidak ditemui lagi duku dan salak condet yang manis dan masir. Pohon-pohon melinjo yang dijadikan emping ketika ratusan ‘home industri’-nya menjamur di Condet kini sudah hampir tidak membekas. Warga Betawi sudah banyak hengkang. Sejumlah warga Betawi yang tersisa, kini tidak lagi menjual tanahnya seperti dulu. Mereka membangun rumah-rumah petak untuk dikontrakan. Hasil kontrakan cukup untuk hidup sederhana.
Banyak warga keturunan Arab dari Jakarta dan Jawa Timur kini tinggal di Condet. Seperti di Jl Condet Raya — jalan raya dua jalur yang selalu macet –, kini banyak penjual minyak wangi, kitab bahasa Arab, madu Hadramaut dan Arab sampai rumah makan penjual nasi kebuli. Tentu saja sejumlah gedung dan kantor penampungan TKW.
Kita mengangkat masalah Condet, karena dalam bulan April ini ada peristiwa besar di sini. Tepatnya pada 15 April 1916, ketika Haji Entong Gendut memimpin para petani di depan rumah Lady Rollensin, pemilik tanah partikulir Cililitan Besar. Pada pertengahan abad ke-17 kawasan Cililitan merupakan bagian dari tanah partikulir Tandjong Oost (kini Tanjung Timur), saat dimiliki Pieter van der Velde.
Setelah beberapa kali berpindah tangan, awal abad ke-20 jadi milik keluarga Rollinson. Sisa-sisa gedung ini yang pernah terbakar masih kita dapati, saat masih jadi rumah peristirahatan Vila Nova. Terletak di depan Markas Latihan Rindam Kodam Jaya (ujung Jl Raya Condet), bersebelahan gedung PP dan Super Indo Market. Kala itu, gedung tuan tanah pekarangannya begitu luas hingga mencakup kawasan Tanjung Barat dan Kramat Jati. Belanda menamakan Groeneveld (lapangan hijau). Di sini terdapat peternakan sapi dengan produksi ribuan liter susu per hari untuk konsumsi masyarakat Belanda di Batavia.
Kembali kepada Haji Entong Gendut, ia seorang berani. Gelar haji menunjukkan ia orang bertakwa. Berlainan dengan jagoan masa kini, waktu itu Haji Entong Gendot pembela rakyat tertindas. Melawan kekuasaan kolonial: tuan tanah yang memeras, dibantu wedana dan menteri polisi yang disebut upas. Syahdan para tuan tanah masa itu tidak kalah serakahnya dengan para koruptor masa kini. Hingga masyarakat bertanya-tanya apakah pemerintahan SBY-Boed bisa memberantas dan menghukum mereka.
Di Condet kekejaman terjadi saat Vila Nova yang sering dikunjungi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk berakhir minggu, dijual pada Lady Robinson, orang kaya berkebangsaan Inggris. Lebih-lebih terhadap petani yang gagal membayar pajak. Dan tuan tanah kelewat getol mengadukan mereka ke landrad (pengadilan) untuk membikin perkara. Akibatnya banyak petani bangkrut, rumahnya dijual, tak jarang dibakar. Termasuk harta miliknya Pak Taba. Dan ketika eksekusi hendak dilaksanakan, rakyat Condet marah dan ramai-ramai mendatangi vila Nova guna menggagalkannya. Itu terjadi Februari 1916.
Insiden kedua April 1916. Waktu itu tengah berlangsung pertunjukan topeng. Dan ketika pertunjukan mendekati pukul 11 malam, terdengar teriakan-teriakan. Acara supaya dihentikan. Perintah datang dari Haji Entong Gendut. Rakyat patuh kepada tokoh kharismatik ini dan mereka bubaran dengan tenang.
Rupanya kala itu Haji Entong ingin membuat pemanasan. Ketika ia ditanya aparat kenapa ia berani nyetop pertunjukan topeng, ia menjawab: ”Demi Agama’. Ia hendak mencegah perjudian. Sambil dengan tegas dan memegang keris ia berikrar: ‘Siap untuk membela petani yang jadi korban kejahatan tuan tanah’.
Kemudian ada info yang memberihu para pejabat di Pasar Rebo dan Meester Cornelis banyak orang berkumpul di rumah Haji Entong Gendut. Ketika wedana diiringi para upas berseru agar Haji Entong keluar rumah, ia dengan suara mantap berkata: ”Saya akan keluar setelah shalat.” Ketika ia keluar, disertai ratusan para pengikutnya sambil berteriak: Allahuakbar..Sabilillah gua kagak takut mati. Pertempuran yang tidak seimpang terjadi. Tapi pihak Belanda kewalahan. Kemudian bantuan datang, dan Haji Entong Gendut tertembak mati sebagai syahid, jenazahnya dibuang ke laut oleh kompeni.
Setelah pemberontakan Haji Entong Gendut dipadamkan, sikap tuan tanah makin kejam. Rakyat yang sudah biasa ditakut-takuti itu akhirnya berani lagi mencoba melawan peraturan tuan tanah yang kejam. Pemberontakan kedua terjadi tidak sampai dengan kekerasan senjata. Ini berupa penjajagan, sampai di mana keberanian antek-antek tuan tanah tadi. Percobaan dilakukan dengan penebangan pohon-pohon besar yang tumbuh di tanah kuburan. Demikianlah pada 1923 terjadi penebangan di tanah pekuburan di Condet, yang mereka namakan Kober. Suatu keberanian melawan tindakan yang diharamkan Belanda.
Setelah itu rakyat Condet makin berani melawan kompeni. Hingga tidak jarang yang menunggak pajak. Ini berlangsung hingga 1934. Dipelopori beberapa orang rakyat Condet mengadukan kepada pengadilan mengenai tuan tanah keturunan Jan Ameen. Rakyat meminta bantuan hukum pada Mr Sartono, Mr Moh Yamin, Mr Syarifuddin dll. Rakyat Condet menang perkara, tetapi seperti diuraikan oleh Ran Ramelan, penulis buku ”Condet Cagar Budaya Betawi”, sejauh ini belum ada keputusan, sehingga datang Pemerintahan Federal. Untuk mengenang kepahlawanan Haji Entong Gendut, pernah diusulkan agar salah satu jalan di Condet diabadikan nama almarhum.
Alwi Shahab