Sabtu, 20 Agustus 2011


BAHASA DAN BUDAYA BETAWI PUNAH ATAU BERMETAMORFOSIS

BAHASA DAN BUDAYA BETAWI PUNAH ATAU BERMETA MORFOSIS.........................Banyak orang betawi yang sudah melupakan adat budayanya. Banyak faktor memang yang mendukung terjadinya hal ini, posisi Jakarta yang kebetulan ketempatan sebagai ibu kota negara, hal ini mengakibatkan perkembangan kota jakarta yang diatas rata-rata daerah lain di indonesia, kemajauan diberbagai aspek serta pertumbuhan jumlah penduduk, baik secara alami ataupun pendatang, jelas sangat mempengaruhi adat kebiasaan orang betawi.

Penggunaan bahasa betawi asli dalam lingkungan masyarakat betawi sendiri sudah semakin jarang dipakai, kebanyakan orang betawi lebih suka memakai bahasa pop jakarta, sebagai contoh penggunaan panggilan “babeh” dan “enyak” dalam keluarga betawi sudah sangat jarang dipakai bukan saja oleh orang betawi pada umumnya, bahkan saya yakin dengan seyakin-yakin-nya jika kita mengadakan survei terhadap para dedengkot betawi yang bergabung dalam bamus betawi ataupun para sesepuh di lembaga kebudayaan betawi, sebagai benteng terakhir pelestari budaya betawi sekalipun, kita mungkin sangat sulit menemukan ada yang masih menggunakan panggilan “babeh” dan “enyak” dalam keluarga mereka. Mungkin istilah-istilah itu sekarang Cuma bisa kita dapatkan pada sinetron-sinetron yang berlatar budaya betawi pada televisi kita.

Begitu pula halnya dengan penggunaan budaya betawi dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan, kita sekarang sangat jarang menyaksikan hiburan khas betawi pada acara-acara orang betawi seperti acara perkawinan atau khitanan. Seingat saya sewaktu kecil, lenong, cokek atau gambang kromong adalah hal yang biasa ada pada acara orang betawi terutama di betawi pinggiran dimana saya tinggal, tetapi sekarang orang lebih suka “nanggap” Dangdut, organ tunggal atau layar tancap pada pesta-pesta mereka, begitupun upacara-upacara adat siklus hidup orang betawi, seperti yang ditulis Yahya Andi Saputra dalam bukunya, sekalipun ada terkesan asal jadi yang penting ada.

Ironis nya beberapa waktu lalu sekelompok orang dari beberapa elemen organisasi betawi berdemo menoalk Aurora Tambunan sebagai kepala dinas Kebudayaan dengan alasan “kurang Betawi”, dan pernah juga elemen pemuda betawi berdemo menuntut pemda DKI membuat semacam peraturan daerah agar gedung-gedung di Jakarta (atau minimal pintu gerbangnya) dibangun dengan arsitektur betawi untuk melestarikan kebudayaan betawi atau setidak-tidaknya menunjukan ciri khas, seperti di Bali atau Sumatera Barat.

Yang jadi permasalahan, rasa tanggung jawab mempertahankan ke-Betawi-an dalam berbahasa dan berbudaya orang betawi kurang sekali. Tetapi kita malah menuntut orang lain untuk melestarikan budaya kita. Jika ciri khas adat istiadat, budaya kita sendiri kita tanggalkan, bagaimana mungkin untuk melestarikannya. Mestinya kita belajar dari suku minang, kecintaan mereka terhadap adat-budayanya membuat mereka membawa adat-budaya itu kemanapun mereka pergi, dimanapun ada orang minang kita pasti dengan mudah menemukan warung masakan padang dengan rumah bagonjong nya.

Keberadaan budaya Betawi, termasuk kesenian tradisionalnya dalam beragam bentuk seperti tari-tarian, teater, nyanyian, musik, dan sebagainya, merupakan aset wisata yang eksotik. Sudah sepatutnya berkembang sebagaimana kesenian tradisional dari etnis lain.Tak sedikit tim kesenian dari Indonesia yang diwakili Betawi pentas keliling dunia, mendapat sambutan luar biasa dimanca negara. Sementara di Tanah Airnya sendiri seolah kurang mendapat tempat. Bahkan regenerasinya pun acap mengalami kendala. Kendalanya, selain besarnya pengaruh globalisasi, generasi muda Betawi juga sangat sedikit yang mau mempelajari sekaligus meneruskan kesenian tradisi mereka.

Permasalahan ini merupakan tanggung jawab bersama untuk kelestarian adat dan budaya betawi. Menggunakan satu bahasa apapun adalah hak pribadi seseorang, tapi bahasa menunjukkan bangsa, bahasa dan budaya menunjukan jati diri kita. Melestarikan adat dan budaya juga salah satu bentuk kecintaan terhadap negara atau daerah kita sendiri. Meskipun sekarang ini kita patut berbangga karena sekarang sudah ada program berita televisi yang menggunakan bahasa betawi sebagai bahasa pengantar nya.

Kemunduran ini tentu sangat memprihatinkan. Kepunahan bahasa adalah juga kepunahan sejarah peradaban. Jika satu kaum berhenti menggunakan suatu bahasa, maka kaum tersebut kehilangan beberapa kemampuan natural dari bahasa mereka. Jika bahasa betawi lenyap, maka satu babak sejarah betawi juga akan hilang.

Memang ada teori yang menyebutkan bahwa betawi sebagai suku berikut adat istiadat serta bahasanya, adalah hasil akulturasi budaya dari suku-suku lain yang datang ke tanah Jakarta yang berlangsung selama ratusan tahun. Kalau kita berpatokan pada teori ini, kita tidaklah terlalu khawatir, karena mungkin saja budaya betawi sedang ber-metamorfosis kedalam bentuk budaya baru yang merupakan gabungan dari budaya yang telah ada dengan budaya pop jakarta yang sekarang berkembang serta merupakan percampuran berbagai budaya dari bermacam-macam suku, sehingga melahirkan budaya yang benar-benar baru.**

1 komentar:

  1. copy paste aja kerja luh.... yang kretaif dong gw tau lu nyolong tulisan di : http://anakmandorbuang.blogspot.com/2009/02/bahasa-dan-budaya-betawi-punah-atau-ber.html
    kalo ngambil punya orang tulis dong sumbernya

    BalasHapus