Sabtu, 20 Agustus 2011


BAHASA DAN BUDAYA BETAWI PUNAH ATAU BERMETAMORFOSIS

BAHASA DAN BUDAYA BETAWI PUNAH ATAU BERMETA MORFOSIS.........................Banyak orang betawi yang sudah melupakan adat budayanya. Banyak faktor memang yang mendukung terjadinya hal ini, posisi Jakarta yang kebetulan ketempatan sebagai ibu kota negara, hal ini mengakibatkan perkembangan kota jakarta yang diatas rata-rata daerah lain di indonesia, kemajauan diberbagai aspek serta pertumbuhan jumlah penduduk, baik secara alami ataupun pendatang, jelas sangat mempengaruhi adat kebiasaan orang betawi.

Penggunaan bahasa betawi asli dalam lingkungan masyarakat betawi sendiri sudah semakin jarang dipakai, kebanyakan orang betawi lebih suka memakai bahasa pop jakarta, sebagai contoh penggunaan panggilan “babeh” dan “enyak” dalam keluarga betawi sudah sangat jarang dipakai bukan saja oleh orang betawi pada umumnya, bahkan saya yakin dengan seyakin-yakin-nya jika kita mengadakan survei terhadap para dedengkot betawi yang bergabung dalam bamus betawi ataupun para sesepuh di lembaga kebudayaan betawi, sebagai benteng terakhir pelestari budaya betawi sekalipun, kita mungkin sangat sulit menemukan ada yang masih menggunakan panggilan “babeh” dan “enyak” dalam keluarga mereka. Mungkin istilah-istilah itu sekarang Cuma bisa kita dapatkan pada sinetron-sinetron yang berlatar budaya betawi pada televisi kita.

Begitu pula halnya dengan penggunaan budaya betawi dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan, kita sekarang sangat jarang menyaksikan hiburan khas betawi pada acara-acara orang betawi seperti acara perkawinan atau khitanan. Seingat saya sewaktu kecil, lenong, cokek atau gambang kromong adalah hal yang biasa ada pada acara orang betawi terutama di betawi pinggiran dimana saya tinggal, tetapi sekarang orang lebih suka “nanggap” Dangdut, organ tunggal atau layar tancap pada pesta-pesta mereka, begitupun upacara-upacara adat siklus hidup orang betawi, seperti yang ditulis Yahya Andi Saputra dalam bukunya, sekalipun ada terkesan asal jadi yang penting ada.

Ironis nya beberapa waktu lalu sekelompok orang dari beberapa elemen organisasi betawi berdemo menoalk Aurora Tambunan sebagai kepala dinas Kebudayaan dengan alasan “kurang Betawi”, dan pernah juga elemen pemuda betawi berdemo menuntut pemda DKI membuat semacam peraturan daerah agar gedung-gedung di Jakarta (atau minimal pintu gerbangnya) dibangun dengan arsitektur betawi untuk melestarikan kebudayaan betawi atau setidak-tidaknya menunjukan ciri khas, seperti di Bali atau Sumatera Barat.

Yang jadi permasalahan, rasa tanggung jawab mempertahankan ke-Betawi-an dalam berbahasa dan berbudaya orang betawi kurang sekali. Tetapi kita malah menuntut orang lain untuk melestarikan budaya kita. Jika ciri khas adat istiadat, budaya kita sendiri kita tanggalkan, bagaimana mungkin untuk melestarikannya. Mestinya kita belajar dari suku minang, kecintaan mereka terhadap adat-budayanya membuat mereka membawa adat-budaya itu kemanapun mereka pergi, dimanapun ada orang minang kita pasti dengan mudah menemukan warung masakan padang dengan rumah bagonjong nya.

Keberadaan budaya Betawi, termasuk kesenian tradisionalnya dalam beragam bentuk seperti tari-tarian, teater, nyanyian, musik, dan sebagainya, merupakan aset wisata yang eksotik. Sudah sepatutnya berkembang sebagaimana kesenian tradisional dari etnis lain.Tak sedikit tim kesenian dari Indonesia yang diwakili Betawi pentas keliling dunia, mendapat sambutan luar biasa dimanca negara. Sementara di Tanah Airnya sendiri seolah kurang mendapat tempat. Bahkan regenerasinya pun acap mengalami kendala. Kendalanya, selain besarnya pengaruh globalisasi, generasi muda Betawi juga sangat sedikit yang mau mempelajari sekaligus meneruskan kesenian tradisi mereka.

Permasalahan ini merupakan tanggung jawab bersama untuk kelestarian adat dan budaya betawi. Menggunakan satu bahasa apapun adalah hak pribadi seseorang, tapi bahasa menunjukkan bangsa, bahasa dan budaya menunjukan jati diri kita. Melestarikan adat dan budaya juga salah satu bentuk kecintaan terhadap negara atau daerah kita sendiri. Meskipun sekarang ini kita patut berbangga karena sekarang sudah ada program berita televisi yang menggunakan bahasa betawi sebagai bahasa pengantar nya.

Kemunduran ini tentu sangat memprihatinkan. Kepunahan bahasa adalah juga kepunahan sejarah peradaban. Jika satu kaum berhenti menggunakan suatu bahasa, maka kaum tersebut kehilangan beberapa kemampuan natural dari bahasa mereka. Jika bahasa betawi lenyap, maka satu babak sejarah betawi juga akan hilang.

Memang ada teori yang menyebutkan bahwa betawi sebagai suku berikut adat istiadat serta bahasanya, adalah hasil akulturasi budaya dari suku-suku lain yang datang ke tanah Jakarta yang berlangsung selama ratusan tahun. Kalau kita berpatokan pada teori ini, kita tidaklah terlalu khawatir, karena mungkin saja budaya betawi sedang ber-metamorfosis kedalam bentuk budaya baru yang merupakan gabungan dari budaya yang telah ada dengan budaya pop jakarta yang sekarang berkembang serta merupakan percampuran berbagai budaya dari bermacam-macam suku, sehingga melahirkan budaya yang benar-benar baru.**

RAGAM BUDAYA


LENONG BETAWI

Lenong sebagai tontonan, sudah dikenal sejak 1920-an. Salah satu seniman Betawi terkenal, menyebutnya kelanjutan dari proses teaterisasi dan perkembangan musik Gambang Kromong. Jadi, Lenong adalah alunan Gambang Kromong yang ditambah unsur bodoran alias lawakan tanpa plot cerita.



Kemudian berkembang menjadi lakon-lakon berisi banyolan pendek, yang dirangkai dalam cerita tak berhubungan. Lantas menjadi pertunjukan semalam suntuk, dengan lakon panjang utuh, yang dipertunjukkan lewat ngamen keliling kampung. Selepas zaman penjajahan Belanda, lenong naik pangkat, karena mulai dipertunjukkan di panggung hajatan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.

Saat itu, dekornya masih sangat sederhana, berupa layar sekitar 3×5 meter bergambar gunung, sawah, hutan belantara dengan pepohonan besar, rumah-rumah kampung, laut dan perahu nelayan serta balairung istana dengan tiang-tiangnya yang besar. Alat penerangannya pun tradisional, berupa colen, obor tiga sumbu yang keluar dari ceret kaleng berisi minyak tanah. Sebelum meningkat jadi petromaks.

Walaupun terus menyesuaikan diri dengan maunya zaman, untuk terus survive, lenong harus berjuang keras. Dan ini tak mudah. Tahun 60′-an, masih dengan mengandalkan durasi pertunjukan semalam suntuk dan konsep dramaturgi sangat sederhana, lenong mulai kedodoran. “Rasanya, kini lenong seperti berada di pinggir jurang,”

Itu sebabnya, tahun 70-an, bersama para dedengkot Taman Ismail Marzuki (TIM), bertekad menggaet lenong ke tempat terhormat, lewat revitalisasi lenong. Intinya, memberi kesempatan manggung sebanyak-banyaknya buat para seniman kocak itu. “Agar nama mereka ikut terangkat,”

Di TIM, durasi lenong yang semalam suntuk disunat jadi tiga jam saja. Selain itu, dramaturgi sederhana ikut diperkenalkan kepada pemain. “disana mulai diajarkan dialog, artikulasi, frasa, nuansa dan bloking sebagai bagian dari dinamika pementasan,” Selain itu mereka juga diperkenalkan tata panggung yang lebih realistis. Mulai pemakaian make-up untuk menggantikan cemongan dan bedak, pemasangan hair creppe buat kumis dan jenggot, hingga special effect untuk darah dan luka.

Selama beberapa tahun, lenong ngetrend di TIM dan tempat-tempat pertunjukan lainnya. Anak lenong seperti Bokir, Nasir, Anen, Nirin, M.Toha, Bu Siti, Naserin ikutan beken. Kehidupan mereka pun terangkat lewat tawaran iklan, penampilan di TVRI, bahkan main film layar lebar.

Dibedakan pakaian

Tapi, jangan salah, lenong sendiri banyak macamnya, Cing. Drama rakyat yang populer di TIM dan TVRI, dengan lakon bertemakan cerita sehari-hari seperti rakyat yang tergencet pajak tuan tanah, disebut Lenong Preman. Alasannya gampang, karena pakaian para pemainnya tidak ditentukan sang sutradara. Jadi, boleh pakai baju sesuka hati, asal tak melenceng dari peran.

Di ujung cerita, biasanya muncul jagoan dari kalangan santri (pendekar taat beribadah) yang bertindak sebagai pembela rakyat. Mereka menyebut para jawara itu berkarakter Robin Hood, merampok orang kaya guna menolong si miskin. Nah, karena penonjolan peran jagoan-jagoan itulah, Lenong Preman dinamai juga Lenong Jago.

Jika ada pemain berpakaian preman, mestinya ada juga yang berbaju resmi. Orang Betawi menyebutnya pakaian denes (dinas, red). Sayang, perkembangan Lenong Denes tak seharum rekan-rekannya di kelompok Preman. Barangkali, karena butuh modal besar untuk tampil di panggung. Maklum, pemainnya harus pakai seragam sesuai tuntutan cerita, yang sebagian besar bertutur tentang kisah-kisah 1001 malam.

Pada dasarnya, Lenong Preman dan Denes memang cuma dibedakan dari pakaian yang dikenakan. Karena pakem-pakem lainnya tetap seragam. Seperti aturan bahwa pemain harus masuk dari sisi kanan panggung dan keluar dari sisi kiri. Serta pakem terpenting yang tak bisa ditawar-tawar, musik pengiring gambang kromong. “Di luar itu, ya bukan lenong,”

Gambang kromong sendiri mirip perlengkapan band, terdiri atas berbagai instrumen. Berturut-turut gambang (alat musik dengan banyak sumber suara, terdiri dari 18 buah bilah terbuat dari kayu. Dikenal juga dalam tradisi Jawa dan Sunda), teh yan (semacam rebab berukuran kecil, berasal dari Cina), kong an yan (rebab berukuran sedang, juga berasal dari Cina), shu kong (rebab berukuran besar dari Cina), ning-nong (mirip gamelen Jawa dan Sunda, terbuat dari perunggu).

Selain itu, masih ada kemong (sejenis gong kecil, mirip gamelan Jawa atau Sunda), kromong (gamelan yang dapat menghasilkan 10 sumber suara), kecrek (bilah perunggu yang diberi landasan kayu untuk dipukul-pukul, sehingga berbunyi crek,crek), serta kendang (tambur dengan dua permukaan, berasal dari Jawa, Sunda atau Bali).

Melihat sejarahnya, gambang kromong konon berasal dan berkembang di Betawi Tengah, seperti kawasan Tanah Abang, Senen, Salemba, Jatinegara dan sekitarnya. Di pinggir Jakarta, “Mereka tetap mempertahankan pakem asli lenong, kecuali musik pengiringnya yang diganti tanjidor”. Kok tanjidor? “Karena musik jenis itulah yang berkembang pesat dan menjadi jati diri masyarakat Betawi pinggiran,”. Buat gampangnya, lenong jenis ini kemudian dinamai jinong, kependekan dari tanjidor dan lenong.

Jenis lenong

Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti “dinas” atau “resmi”), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya mengenai kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.

Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam.

Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang dibandingkan lenong denes

Nebeng, tapi diterima

Gencarnya “kampanye lenong” di TIM dan TVRI, bukan hanya membawa dampak positif buat mata pencaharian pelakonnya. Tapi juga menyebarkan pengaruh, orang Betawi menyebutnya sebagai “hikmah budaya”, yakni merasuknya dialek Betawi ke seluruh nusantara. Memang, “hasil finalnya” tak seperti bahasa Betawi baku yang sering terdengar di pemukiman.

Tapi berkembang lagi menjadi “bahasa metro”, karena sudah bercampur dengan idiom-idiom bahasa Indonesia dan daerah tertentu. Toh, Bokir, Nasir, Bu Siti atau Mandra bisa dibilang sukses mensosialisasikan dialek ‘kampung” itu, bahkan “mengangkatnya” menjadi bahasa pergaulan remaja.

Pengaruh lain, berdirinya teater-teater pop yang ke-Betawi-Betawian. Seperti Teater Mama (Mat Solar) dan Teater Mira (Nazar Amir) di tahun 80-an, maupun yang muncul dan ngetop di era 90-an, Lenong Rumpi dan Lenong Bocah. Produk-produk yang nebeng kepopuleran lenong ini terbukti bisa diterima masyarakat, meski masa kejayaannya terbatas.

Sayangnya, kini sang teater rakyat malah terus tenggelam. Frekwensi pemunculannya di televisi mulai jauh berkurang, sementara panggung hajatan mulai enggan mengundang, barangkali karena nama lenong sudah kelewat besar buat menghibur acara kawinan. “Pamornya memang sedang meredup,”

Lenong Preman masih mendingan, karena terkadang masih ada jadwal mentas di Anjungan DKI TMII. Tapi Lenong Denes? Pertunjukannya makin langka, seiring berkurangnya minat para “penanggap”. Tak heran jika pemain lenong muda merasa asing dengan konsep Denes ini. Di sisi lain, pemain yang dulu menggerakkan Lenong Denes, satu persatu dimakan usia, tanpa sempat menyiapkan pengganti.

RAGAM BUDAYA


PERMAINAN ANAK BETAWI

Permainan anak-anak Betawi pada hakekatnya tidak
banyak berbeda dengan permainan anak-anak dari daerah-daerah lain di
Indonesia, terutama dengan permainan anak-anak di Jawa. Anehnya
kesamaan ini bukan dengan permainan anak-anak Priangan, padahal
wilayahnya lebih dekat, bahkan berbatasan dengan Betawi. Hal ini
kemungkinan besar karena banyak suku Jawa yang terdampar di pinggiran
Betawi-yaitu prajurit-prajurit Sultan Agung Mataram yang menyerang
Batavia pada antara tahun 1613-1645.

Beberapa macam permainan
anak-anak Betawi tersebut, perbedaannya hanya pada nama dan nyayiannya
saja, sedangkan esensinya sama. Misalnya nyanyian anak-anak Jawa
“Cublak-Cublak Suweng”, di Betawi juga ada yaitu “Cublak-Cublak uang”.

Kelebihan
permaianan anak-anak Betawi mungkin pada jumlahnya yang kaya
Diperkirakan ada sekitar 40 macam. Ini dapat dimengerti lantaran etnis
Betawi terbentuk oleh perpaduan berbagai etnis. Setiap etnis mungkin
memberikan sumbangan ide dan pola permainan anak-anak dari daerahnya
masing-masing.

Mengapa punah?
Permainan anak-anak Betawi
dewasa ini makin punah. Faktor penyebab kepunahannya sama dengan
penyebab kepunahan unsur-unsur Budaya Betawi lainnya, yaitu pengaruh
kota besar yang terus-menerus dilanda pembangunan yang pesat dan
masuknya moderisasi di sengala bidang kehidupan, baik fisik maupun alam
pikiran. Lenyapnya tanah-tanah kosong tempat anak-anak bermain, serta
hadirnya sarana hiburan yang ditunjang teknologi modern seperti Play
Stastion, Sega, VCD,DVD, dan komputer serta televisi, telah mengurangi
minat anak-anak untuk bermain secara tradisioanal. Padahal keindahan
dan kenikmatan melakukan permainan tranisioanal, relatif tidak kalah
dari sarana hiburan mutakhir.

Pendidikan dan falsafah
Di
dalam beberapa jenis permainan anak-anak Betawi, jika di simak lebih
teliti, sesungguhnya banyak mengandung aspek pendidikan dan falsafah
hidup.

Misalnya permainan Petak Torti. Permainan mencari teman
yang bersembunyi ini biasanya dilakukan malam hari. Padahal kota
jakarta pada waktu dulu tidak seterang sekarang. Masih banyak yang sepi
dan gelap. Banyak pula pepohonan yang rimbun dan semak-semak. Bererapa
tempat bahkan di bilang tempat yang angker alias banyak setannya.

Disini
jelas maksudnya, bahwa anak-anak Betawi yang bermain Petak Torti,
otomatis diajar menjadi orang yang pemberani. Sifat berani penting bagi
kehidupan Betawi yang lokasi etnisnya setiap hari berhadapan dengan
penjajah, pemeras, lintah darat, penjahat, yang terdiri dari tuan-tuan
tanah dan kaki tangannya itulah seba, “Besile di rume ngaji Qur’an.
Turun ke pelantaran maen pukulan”

Ada lagi permainan Tok Tok
Pintu Atau Gali Gali ubi. Permainan ini jelas melambangkan agar anak
Betawi hendaknya bermurah hati. harta-benda kepada yang membutuhkan,
Apabila kita telah merasa cukup dan berlatih. Permainan ini ada
dialognya yang khas, sebagai berikut:

Tok-tok-tok buka pintu!
Siape?
Nenek Gerondong
Minta ape? bedaon atu
Minta ubi
Ubinye baru

Nenek
Gerondong mengulang lagi permintaannya setelah ia berjalan memutar.
Jawabannya yang diterima sudah berubah menjadi “Bedaon tiga”. Barulah
ubi boleh diminta. Itu berarti ubi sudah berdaun cukup, sudah besar dan
masak. Sehingga boleh diminta orang lain. Maka berikanlah, jangan
kikir. Disini, ubi melambangkan harta-benda.

Macam-macam Permainan
Dari
sekian banyak bentuk permainan anak-anak Betawi yang amat spesifik,
terutama karena ada nyayiannya, dapatlah disebutkan disisi sebagai
berikut:

1. Deng-Ndengan
Dimainkan oleh laki-laki atau
perempuan, usia 11 tahun ke bawah. Tiga anak berpegangan tangan sambil
direntangkan. Kemudian mereka berjalan berbarengan sambil bernyanyi:
Deng-ndengan, sirih tampi berduri-duri
Mandi kembang, kembang melati
Bok breoook… !
Ketika menyanyikan kata terakhir “bok breoook”, anak-anak itu berjongkok serempak. Dan begitu seterusnya berulang-ulang.

2. Wak-wak Gung
Dimainkan
oleh anak perempuan dan laki-laki. Dua anak berdiri berpenggangan
tangan membuat lorong. Anak-anak yang lain berjalan berputar membentuk
barisan seperti ular, kemudian memasuki lorong satu persatu. Giliran
anak yang terakhir, anak itu di kurung di dalam lorong. Dan begitu
seterusnya, sambil mereka bernyanyi-nyanyi:
Wak-wak Gung, nasinye nasi jagung,
Lalapnye lalap utan,
Sarang gaok di pu’un jagung, gang-ging-gung!
Pit-alaipit, kuda lari kejepit… sipit!

Disambung dengan nyanyian lain:
Tamtam buku, seleret daon delime,
Pate lembing, pate paku, tarik belimbing, tangkep Satu
Kosong-kosong-kosong! Isi-isi-isi….!

3. Ciblak-ciblak Uang
Seorang
anak membungkukkan Anak-anak lain menaruh tangannya yang dikepalkan di
pungung anak tadi. Di dalam genggaman salah seorang anak ada sebuah
batu kecil. Anak yang membungkukkan badan itulah yang harus menebak,
anak mana yang memengang batu.
Sambil bermain mereka bernyanyi:
Ciblak-ciblak uangnye manggulenteng,
Ambu tata, ambu titi, ketulung bung-bung,
Bok Eran, Bok Eran, si anu mau kawin,
Potong kerbo pendek, potong kerbo tinggi,
Gamelan jegar-jegur.
Ta-em-em, ta-em-em
Kereta-keritu, siape yang pegang batu?
Di depan pintu dipunggut mantu.

Kalau tebakannya tepat, maka anak yang memegang batu harus ganti membungkuk.

4. Ci-ci Puteri
Tangan
terkepal, jempol diacungkan ke atas. Lalu tangan-tangan itu disusun
saling tindih. Tangan yang di atas memegang jembol tangan yang di
bawah, sambil bernyanyi:
Ci-ci puteri, tembako lime kati
Mak None, Mak None, si Siti mau kembang ape?
Siti menjawab: Mau kembang duren!
Pulang-pulang babenye keren!

Kalau Siti bilang kembang terompet, maka anak-anak yang lain akan berseru,”Pulang-pulang babenye ngepet!”
Jadi harus ada persamaan bunyi pada suku kata terakhir.

Aneka Macam Main Petak
Main
petak ada bermacam-macam. Yang penting lawan harus dikenai. Kena dalam
arti”terlihat” atau betul-betul tersentuh.Ada lima macam main petak, di
antaranya:

1. Petak Torti
Ada nyanyiannya yang khas: Torti! Sambel godok ayam puti, cewek montok bau terasi
2. Petak Umpet
3. Petak inggo
Inggo artinya titik awal atau pos. Anak-anak yang dikejar akan terbebas dari kejaran kalau mereka sudah tiba di titik inggo.
4. Petak Jongkok
Anak-anak yang dikejar akan terbebas dari kejaran, kalau mereka segera berjongkok.

Dan
ada banyak lagi permainan lainnya semisal: Pletokan, gundu, tombok,
ketok kadal, congklak, galah asin, jangkungan, sumpritan atau
jumparing, jepretan, main karet, dampu, gangsing, bentengan,
landar-lundur, bekel, olelio, rage, serta beberapa lagi yang belum
tercatat.

Bagaimanapun juga, permainan anak-anak tersebut perlu
digalakkan kembali kendati jaman telah berubah. Perlu diingat perubahan
itu harus memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Untuk itu,
unsur budaya – dalam hal ini permainan anak-anak haruslah pula
digalakkan dan disebarluaskan karena apat membantu manusia mencapai
peradaban yang lebih manusiawi, yang memiliki etika yang baik
dari Jabir Sofyan Khamal

RAGAM BUDAYA


ONDEL-ONDEL BETAWI

Ondel-ondel adalah pertunjukan rakyat yang sudah berabad-abad terdapat di Jakarta dan sekitarnya, yang dewasa ini menjadi wilayah Betawi. Walaupun pertunjukan rakyat semacam itu terdapat pula di beberapa tempat lain seperti di Priangan dikenal dengan sebutan Badawang, di Cirebon disebut Barongan Buncis dan di Bali disebut Barong Landung, tetapi ondel-ondel memiliki karakteristik yang khas. Ondel-ondel tergolong salah satu bentuk teater tanpa tutur, karena pada mulanya dijadikan personifikasi leluhur atau nenek moyang, pelindung keselamatan kampung dan seisinya. Dengan demikian dapat dianggap sebagai pembawa lakon atau cerita, sebagaimana halnya dengan “bekakak” dalam upacara “potong bekakak” digunung gamping disebelah selatan kota Yogyakarta, yang diselenggarakan pada bulan sapar setiap tahun.

Ondel-ondel berbentuk boneka besar dengan rangka anyaman bambu dengan ukuran kurang lebih 2,5M, tingginya dan garis tengahnya kurang dari 80 cm. Dibuat demikian rupa agar pemikulnya yang berada didalamnya dapat bergerak agak leluasa. Rambutnya dibuat dari ijuk,”duk” kata orang Betawi. Mukanya berbentuk topeng atau kedok, dengan mata bundar (bulat) melotot.

Ondel-ondel yang menggambarkan laki-laki mukanya bercat merah, yang menggambarkan perempuan bermuka putih atau kuning. Ondel-ondel biasanya digunakan untuk memeriahkan arak-arakan, seperti mengarak pengantin sunat dan sebagainya. Lazimnya dibawa sepasang saja, laki dan perempuan. Tetapi dewasa ini tergantung dari permintaan yang empunya hajat. Bahkan dalam perayaan-perayaan umum seperti ulang tahun hari jadi kota Jakarta, biasa pula dibawa beberapa pasang, sehingga merupakan arak-arakan tersendiri yang cukup meriah.

Musik pengiring ondel-ondel tidak tertentu, tergantung masing-masing rombongan. Ada yang diiringi Tanjidor, seperti rombongan ondel-ondel pimpinan Gejen, kampung Setu. Ada yang diiringi gendang pencak Betawi seperti rombongan “Beringin Sakti” pimpinan Duloh (alm), sekarang pimpinan Yasin, dari Rawasari. Adapula yang diiringi Bende, “Kemes”, Ningnong dan Rebana Ketimpring, seperti rombongan ondel-ondel pimpinan Lamoh, kalideres

Disamping untuk memeriahkan arak-arakan pada masa yang lalu biasa pula mengadakan pertunjukan keliling, “Ngamen”. Terutama pada perayaan-perayaan Tahun Baru, baik masehi maupun Imlek. Sasaran pada perayaan Tahun Baru Masehi daerah Menteng, yang banyak dihuni orang-orang Kristen.Pendukung utama kesenian ondel-ondel petani yang termasuk “abangan”, khususnya yang terdapat di daerah pinggiran kota Jakarta dan sekitarnya.

Pembuatan ondel-ondel dilakukan secara tertib, baik waktu membentuk kedoknya demikian pula pada waktu menganyam badannya dengan bahan bambu. Sebelum pekerjaan dimulai, biasanya disediakan sesajen yang antara lain berisi bubur merah putih, rujak-rujakan tujuh rupa, bunga-bungaan tujuh macam dan sebagainya, disamping sudah pasti di bakari kemenyan. Demikian pula ondel-ondel yang sudah jadi, biasa pula disediakan sesajen dan dibakari kemenyan, disertai mantera-mantera ditujukan kepada roh halus yang dianggap menunggui ondel-ondel tersebut. Sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanan, bila akan berangkat main, senantias diadakan sesajen. Pembakaran kemenyan dilakukan oleh pimpinan rombongan, atau salah seorang yang dituakan. Menurut istilah setempat upacara demikian disebut “Ukup” atau “ngukup”.

TOKOH BETAWI

Repost : Abam Is 
KH KH Noer Alie. Untuk wilayah Bekasi dan sekitarnya KH Noer Alie sangat gigih melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda sehingga beliau dikenal dengan julukan "Singa Karawang - Bekasi ". Kisah kepahlawanan KH Noer Alie telah menginspirasi seorang pujangga besar Indonesia yaitu Khairil Anwar untuk menulis karya puisi " Karawang - Bekasi " yang sangat terkenal itu

Dari sekian banyak pertempuran yang telah dilakukan, terdapat dua kisah pertempuran yang memperlihatkan semangat perjuangan dengan keberanian dan kecerdikan yang telah dilakukan oleh KH Noer Alie dan perperangan itu berperan besar dalam kelanjutan kisah perjuangan rakyat Bekasi yaitu :

1. Pertempuran Sasak Kapuk
Pada tanggal 29 November 1945 meletus pertempuran sengit pasukan KH Noer Alie dengan Sekutu – Inggris di Pondok Ungu seiring gema takbir dalam kalimat Hizbun Nash berkumandang bersamaan dengan langkah pasukan rakyat KH Noer Alie mendesak pasukan Sekutu karena serangan mendadak pasukan rakyat.Melihat pasukan sekutu sudah mulai terdesak, mulai timbul rasa takabur pada pasukannya sehingga ketika pasukan sekutu mulai berbalik setelah sekitar satu jam terdesak, pasukan rakyat berbalik terdesak sampai jembatan Sasak Kapuk. Pondok Ungu. Bekasi. Melihat kondisi pasukanya yang sudah kocar - kacir, KH Noer Alie memerintahkan pasukannya untuk mundur, tapi sebagian pasukannya masih tetap bertahan sehingga sekitar tiga puluh orang pasukan Laskar Rakyat gugur dalam pertempuran tersebut.

2. Peristiwa Rawa Gede
Untuk menunjukkan bahwa pertahanan Indonesia masih eksis, dibeberapa tempat MPHS melakukan perang urat syaraf. KH Noer Alie memerintahkan pasukannya bersama masyarakat di Tanjung Karekok, Rawa Gede dan Karawang untuk membuat bendera merah – putih ukuran kecil terbuat dari kertas. Ribuan bendera tersebut lalu ditancapkan di setiap pohon dan rumah penduduk dengan tujuan membangkitkan moral rakyat bahwa ditengah – tengah kekuasaan Belanda masih ada pasukan Indonesia yang terus melakukan perlawanan. Aksi herois tersebut membuat Belanda terperangah dan mengira pemasangan bendera merah-putih tersebut dilakukan oleh TNI, Belanda langsung mencari Mayor Lukas Kustaryo, karena tidak ditemukan Belanda marah dan membantai sekitar empat ratus orang warga sekitar Rawa Gede. Pembantaian yang terkenal dalam laporan De Exceseen Nota Belanda itu disatu sisi mengakibatkan terbunuhnya rakyat, namun disisi lain para para petinggi Belanda dan Indonesia tersadar bahwa disekitar Karawang, Cikampek, Bekasi dan Jakarta masih ada kekuatan Indonesia. Sedangkan citra Belanda kiat terpuruk, karena telah melakukan pembunuhan keji terhadap penduduk yang tidak bedosa.

Dari catatan lain ditemukan bahwa pada tahun 1984 KH Noer Alie kedatangan tamu pakar sejarah dari Belanda yang ditemani oleh seorang penterjemah dari wartawan koran Pelita. Dari pembicaraan Pakar sejarah dari Belanda tersebut terkuak bahwa KH Noer Alie, oleh penjajah Belanda lebih dikenal sebagai Kolenel Noer Alie. “ Ternyata seorang Kolonel Noer Alie bukan tentara yang gagah perkasa. Penampilan anda begitu bersahaja. Bahkan sangat sederhana. Malah pakai kain dan kopiah putih. Saya takjub dengan jati diri Anda “

KH Noer Alie dilingkungan keseharianya dikenal sebagai seorang Kiyai yang sangat peduli dengan pendidikan, cerdas, berani dan sangat dihormati oleh lingkungan sekitarnya. Berdasarkan cerita masayarakat disekitar Desa Ujungharapan Bahaga, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Apabila KH Noer Alie berjalan yang dikenal dengan sebutan “ Engkong Kiyai “ berjalan tidak ada seorangpun baik pejalan kaki ataupun yang memakai kendaraan yang berani mendahului, mereka lebih cendrung untuk memilih jalan lain atau melompati got sebagai jalan pintas apabila terpaksa harus mendahului Engkong Kiyai. Melihat begitu tingginya kharisma yang terpancar dari seorang KH Noer Alie, mulai dari warga atau penduduk sekitar pesantren sampai kepada aparat pemerintahan.

Pada zamannya, tidak ada akses jalan yang rusak disekitar desa karena apabila terjadi kerusakan jalan dan diketahui oleh KH Noer Alie, aparat pemerintah akan langsung buru – buru memperbaiki mengingat besarnya jasa beliau terhadap pembangunan terutama di wilayah Bekasi. Salah satu karya fenomenal yang berhasil diujudkan oleh KH Noer Alie dan sangat perlu menjadi contoh bagi umat saat ini adalah pembangunan dan pembukaan akses jalan secara besar – besaran disekitar Desa Ujungharapan Bahaga, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Dalam setiap jalan yang dibangun beliau tidak pernah mengeluarkan biaya untuk pembebasan tanah warga, tetapi apabila itu merupakan instruksi dari “ Engkong Kiyai “, semua warga dengan sukarela dan ikhlas akan mewakafkan tanahnya seperti pelebaran Gang Perintis pada tahun 1980, beliau terjun langsung memimpin gotong – royong pengerjaannya

Dari sana terlihat bahwa KH Noer Alie bukan seorang tokoh bertipikal elitis atau selalu bersikap populis tapi benar – benar seorang pemimpin yang merakyat yang mau mengerjakan apa yang diucapkan di podium, beliau bukan pemimpin yang hanya bisa bicara dan main perintah saja atau pemimpin yang hanya duduk manis sambil baca Koran ketika berdebat tentang kesejahteraan rakyat merasa dirinya orang yang paling tahu, pada hal tidak tahu apa – apa.

Perjuangan Politik KH Noer Alie.
- Pada tanggal 19 April 1950 KH Noer Alie dipilih sebagai Ketua Masjumi Cabang Jatinegara wakil ketua
Dewan Pemerintahan Daerah Bekasi ( 1950 – 1956 )
- Bersama KH Rojiun, KH Noer Alie menggagas membentuk Lembaga Pendidikan Islam (LPI ) yang salah
satu programnya mendirikan Sekolah Rakyat Islam di Jakarta dan Jawa Barat
- Di Ujung Malang, KH Noer Alie kembali mengaktifkan pesantrennya dengan SRI sebagai lembaga
pendidikan pertama.
- Dalam empat tahun SRI sudah terbentuk di tujuh desa yaitu di Pulo Asem, Wates, Buni Bhakti, Pondok
Soga, Penggarutan, Gabus Pabrik dan Kali Abang Bungur dengan proses belajar mengajar yang sangat
sederhana dengan memanfaatkan rumah, langgar sampai bekas kandang kerbau yang sudah tidak
terpakai
- Pada tahun 1953 karena LPI sudah tidak aktif lagi, KH Noer Alie membentuk organisasi pendidikan
dengan nama Pembangunan Pemeliharaan Pertolongan Islam ( P3 ) yang dijadikan induk bagi SRI,
pesantren dan kegiatan sosial.
- Pada tahun 1954 KH Noer Alie memerintahkan KH Abdul Rahman mendirikan Pesantren Bahagia di
Bekasi ( sekarang Kodim Bekasi ) dengan santri pertamanya diambil dari para santri lulusan SRI
- Pada Tahun 1952 Nahdlatul Ulama di tingkat pusat keluar dari partai Masjumi dan KH Noer Alie besama
beberapa anak buahnya seperti KH Mahadi, Abdullah Syair dan Ya’kub Ahmad membentuk partai
Nahdlatul Ulama di Bekasi
- Pada tahun 1958 KH Noer Alie terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante menggantikan Sjafruddin
Prawiranegara yang mengudurkan diri.
- Bersama para ulama dan Tentara Teritorium III, KH Noer Alie ikut membidani pembentukan Majelis
Ulama Jawa Barat.
- Pada tahun 1960 KH Noer Alie aktif menghadang gerakan PKI dan memberikan pandangan kepada
organisasi pelajar dan mahasiswa
- Pada tahun 1966 KH Noer Alie mengaktifkan Majelis Ulama Jawa Barat dengan dukungan Pangdam VI
Siliwangi HR Darsono dan kemudian Majelis Ulama Jawa Barat ini mengispirasi pemerintah pusat untuk
mendidkan Majelis Ulama Indonesia ( MUI )
- Pada Tahun 1972 KH Noer Alie bersama para pemimpin pondok pesantren diantranya KH Sholeh
Iskandar, KH Abdullah Syafi’ie, KH Khair Effendi, KH Tubagus Hasan Basri mendirikan Badan Kerjasama
Pondok Pesantren ( BKSPP ) Jawa Barat dan selanjutnya BKSPP Jawa Barat ini pada masa Presiden BJ
Habibie statusnya ditingkatkan menjadi BKSPP Indonesia
- KH Noer Alie termasuk salah seorang kiai yang bereaksi keras terhadap Rancangan Undang – Undang
Perkawinan ( RUUP ) yang tidak sesuai dengan syariat Islam sampai RUUP itu digagalkan
- Melalui BKSPP KH Noer Alie menentang pelarangan jilbab bagi pelajar muslim ( 1982 – 1983 ) dan
menyatakan ketidak setujuannnya terhadap Rancangan Undang – Undang No 8 tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan yang wajib mencantumkan Pancasila sebagai satu – satunya azas
- KH Noer Alie juga salah seorang kiai yang menuntut penghapusan Porkas Sepak Bola yang dinilainya
sebagai judi
- Diusia senjanya, KH Noer Alie bersama Bupati Bekasi Suko Martono mendirikan Yayasan Nurul Islam
yang salah satu programnya membangun gedung Islamic Centre Bekasi. Belia juga ikut mendirikan
Forum Ukhuwah Islamiyah ( FUI ) dan aktif di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia ( DDII )

Masih adakah pemimpin zaman sekarang yang seperti beliau ...???!!!

TOKOH BETAWI

Repost : Abam Is

MUALLIM SYAFI'I HADZAMI
Ulama Asli Betawi yang Disegani para Habaib Pada masa kekuasaan Prabu Siliwangi, kawasan Betawi disebut sebagai Sunda Kelapa di bawah kerajaan Pajajaran. Pada Masa kerajaan Islam, kawasan ini berada di bawah kendali Kesultanan Banten, sedangkan ketika Belanda datang, maka ia disebut sebagai Batavia.


Betawi adalah sebuah kawasan yang sangat religius sebelum menjadi seperti yang kita kenali sekarang sebagai kawasan metropolitan dengan berbagai kesibukan pemerintahan, bisnis dan hiburan saat ini. Betawi adalah sebuah tempat yang khas dengan tradisi kesantrian yang berbeda dengan kawasan-kawasan lain di pulau Jawa, baik tanah Pasundan maupun wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Tradisi kesantrian di Betawi sungguh sangatlah unik, karena masyarakat betawi umumnya tidak mengandalkan pesantren dengan asrama tinggal para santri dalam mendidik generasi penerusnya. Betawi memiliki tradisi mengaji yang sedemikian kuat terhadap para ulama di tempat tinggal yang berbeda-beda. Para santri pergi mengaji dan kemudian pulang kembali ke rumahnya begitu pengajian selesai. Mereka dapat berpindah-pindah guru mengaji menurut kecocokan masing-masing santri. Kondisi seperti ini berlangsung hingga tahun 1960-an. Biasanya jika mereka ingin meneruskan pendidikannya, biasanya mereka akan melanjutkan ke Timur Tengah, terutama ke Makkah.



Ulama Betawi ini sejak kecil di asuh oleh kakeknya dari pihak ayah, yang merupakan seorang guru agama yang tinggal di daerah Batu Tulis XIII, Pecenongan yang bernama guru Husin. Karenanya, Syafi’i kecil juga didik sebagai guru agama. Kakeknya ini adalah seorang pensiunan pegawai percetakan yang tidak memiliki anak, sehingga sebenarnya, ia bukanlah kakek langsung, melainkan paman dari ayah Syafi’i. dengan demikian ia memiliki banyak waktu untuk mendidik syafi’i mengaji bersama dengan teman-temannya di samping berdagang kecil-kecilan untuki mengisi waktu senggang. Dari sini terlihat bahwa Syafi’i adalah anak yang cerdas dan ulet, ia tidak suka menyia-nyiakan waktunya hanya untuk bersantai-santai saja.

Kakeknya ini sangat keras dalam mendidik anak-anak, sehingga dalam usia Sembilan tahun, Syafi’i telah berhasil menghatamkan al-Qur’an. Sejak kecil Syafi’i tidak pernah mengalami benturan dengan kakeknya. Meskipun kakeknya ini adalah orang kaya dan pensiunan pegawai percetakan, namun ia sama sekali tidak pernah mencita-citakan cucunya kelak menjadi seorang pegawai juga. Karenanya, kakeknya selalu mengajak Syafi’i ke tempat-tempat pengajian, kemana pun kakeknya ini mengaji. Sebagai seorang guru ngaji, kakeknya juga menginginkan cucunya belajar mengaji dan bergulat di bidang agama.

Sehingga teman-teman dan guru-guru kakeknya, secara otomatis juga menjadi guru langsung dari Syafi’i muda. Di antara teman-teman kakeknya ini adalah, Guru Abdul Fatah yang tinggal di daerah Batu Tulis. Juga kepada Bapak Sholihin di Musholla kakeknya, sehingga Musholla tempatnya mengaji ini kemudian dinamakan dengan Raudhatus Sholihin.

Di antara guru-gurunya tersebut adalah, Habib Ali bin Husein al-Atthas, di Bungur kawasan Senen Jakarta Pusat; Ajengan KH. Abdullah bin Nuh, dari Cianjur Jawa Barat yang aktif berceraman di RRI; Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, Kwitang Jakarta Pusat; KH. Ya’qub Saidi, Kebun Sirih Jakarta Pusat; KH. Muhammad Ali Hanafiyah: Pekojan Jakarta Barat; KH. Muhtar Muhammad, kebun Sirih; KH. Muhammad Sholeh Mushonnif, Kemayoran Jakarta Pusat; KH.Zahruddin Usman yang berasal dari Jambi; dan sederet ulama-ulama lain di seantero Jakarta, baik yang memang tinggal di Jakarta, maupun para ulama yang sedang bertugas di Jakarta. Syeikh Yasin bin Isa al-Fadani adalah salah satu guru dari Muallim Syafi’i, karena seringkali ketika Syeikh Yasin berkunjung ke Jakarta dan tinggal di tempat salah seorang temannya di Prapanca Jakarta Barat, Muallim Syafi’i selalu menyempatkan hadir di pengajian-pengajian yang di buka oleh Syeikh Yasin di sana.



Kharisma dan Daya Tarik
Termasuk pula yang menjadi daya tarik pengajian Muallim Syafi’i Hadzami adalah karena pengajian-pengajiannya selalu juga dihadiri oleh para Kyai dan teman-teman seperjuangannnya. Bahkan banyak sekali para ulama yang dahulunya adalah guru-guru Muallim Syafi’i, kini menghadiri pengajian-pengajian Beliau sebagai murid atau pendengar.

Sejak awal, Muallim Syafi’i Hadzami telah mengajar ke berbagai majlis ta’lim. Pada tahun 1963, pada usia 32 tahun, Beliau membentuk sebuah Badan Musyawarah Majlis Ta’lim (BMMT) yang diberi nama al-’Asyirotus Syafi’iyyah. Badan ini kemudian berkembang menjadi sebuah Yayasan pada tahun 1975 yang mampu mendirikan sebuah komplek pesantren di kampung Dukuh, kebayoran lama, Jakarta Selatan. Pesantren ini kemudian berkembang mejadi sebuah lembaga pendidikan yang berhasil mengelola pendidikan dari tingkat TK hingga Aliyah. Di komplek pesantren inilah kemudian Muallim Syafi’i tinggal sepanjang usianya. Namun demikian pengajian-pengajian ke berbagai penjuru Jakarta tetp dilakoninya sepanjang hidup. Bahkan hampir-hampir tiada waktu luang untuk sekedar bersantai, karena kalaupun Muallim sedang tidak mengajar, maka Beliau pasti sedang Muthola’ah. Hal ini dikarenakan sedemikian cinta beliau kepada ilmu-ilmu agama. Bahkan karena cintanya ini, ruang tamu di rumahnya pun lebih mirip sebagai perpustakaan.

Gaya bicaranya datar-datar saja namun tertib dan jelas, cara berpakaiannya yang wajar-wajar saja, dan sikapnya yang tenang, serta pembawaannya yang sederhana, menjadikan Muallim disegani oleh seluruh ulama di betawi, baik dari kalangan habaib maupun para ulama Betawi Asli. Hal ini terutama sekali dikarenakan sikap Beliau yang sangat teguh dalam memegang prinsip-prinsip agama. Selain itu Muallim Syafi’i Hadzami juga terkenal sangat rendah hati dan mencintai para muridnya.

Karya-Karya
Muallim Syafi’i Hadzami, selain mendarmabhaktikan seluruh aktivitasnya untuk kemajuan umat Islam, khususnya di daerah Jakarta, Beliau juga memiliki karya-karya tulis yang masih dapat dijadikan referensi hingga sekarang. Karya-karya Muallim hampir semuanya ditulis sebelum era 1980-an meski masih memiliki usia panjang hingga akhir 2006, namun tidak lagi ditemukan karya-karya yang merupakan buah tangan langsung Beliau pada era-1990-an. Beberapa buku memang kemudian banyak di terbitkan, terutama setelah tahun 2000 M. namun kesemuanya adalah kumpulan hasil transkripsi pidato-pidato Muallim, baik dalam pengajian-pengajian darat maupun pengajian-pengajian yang disiarkan melalui gelombang radio.

Karya-karya tersebut antara lain adalah Taudhihul Adillah yang menjelaskan tentang hukum-hukum syariat berikut dengan dalil-dalil dan keterangan-keterangannya; Sullamul Arsy fi Qiro’atil Warsy yang menjelaskan tentang seluk beluk bacaan bacaan al-Qur’an menurut Imam Warsy, kitab ini disusun pada tahun 1956 M. saat berusia 25 tahun.

Sementara karya-karya lain biasanya berupa penjabaran tentang suatu permasalahan, seperti penggalan-penggalan sebuah permasalahan hokum dan ibadah-ibadah tertentu. Karya-karya jenis ini antara lain, Qiyas adalah Hujjah Syariah (1969 M.); Qabliyyah Jum’at; Shalat tarawih; Ujalah Fidyah Sholat (1977 M.) dan Mathmah ar-Ruba fi Ma’rifah ar-Riba (1976 M.).

Karena telah mengenyam manfaat yang demikian besar dari kitab kuning, maka Muallim memiliki kiat-kiat jitu untuk dapat menguasai kitab kuning dengan benar, dengan arti yang sebenarnya. Menurut Muallim, hal pertama-tama yang semestinya dilakukan oleh para santri yang mempelajari kitab kuning adalah menguasai ilmu-ilmu alat, hingga masalah yang sekecil-kecilnya. Ini berarti seorang pembaca kitab kuning haruslah memahami lughat. Artinya harus mengenal lughat yg berbeda-beda, serta harus memiliki rasa penasaran yang tinggi kepada ilmu-ilmu perbandingan madzhab, sehingga tidak kaku dalam memberikan fatwa atau memandang suatu permasalahan hukum.

Hal ini jelas sangat terlihat dari aktivitas-aktivitas muallaim yang bukan hanya di MUI DKI Jakarta saja, melainkan juga di NU. Muallaim sangat rajin menghadiri batsul masail-batsul masail, dan rapat pleno-rapat pleno yang diadakan oleh PBNU, terutama yang diadakan di Jakarta. Hingga pada muktamar NU ke 29 di Cipasung, Tasikmalaya, Muallim Syafi’i Hadzami dipercaya menjadi salah satu Rois Suriah PBNU. Hal ini tentu saja merupakan pengakuan keilmuan dan keulamaan dari NU mengingat jarang sekali ada ulama dari Batawi yang dipercaya untuk menduduki posisi ini.

Karisma keulamaan dalam diri Muallim Syafi’i Hadzami memancar bukan hanya di Indonesia. Kedalaman ilmu Muallim juga dikenal hingga Mekkah dan Hadramaut. Hal ini nampak dari seringnya muallim mendapat kunjungan dari beberapa ulama dan para Habaib dari Hadramaut.

Ba’da mengajar di Masjid Ni’matul Ittihad, tepatnya tanggal 07 mei 2006 M. Muallaim Syafi’I Hadzami merasakan nyeri di dada dan sesak napas. Muallim berpulang ke rahmatullah dalam perjalanan menuju ke Rumah Sakit Pertamina Pusat (RSPP). Linangan air mata mengalir mengantarkan kepergian sang guru yang sangat dicintai oleh seluruh penduduk Jakarta ini.

ASAL USUL BUDAYA BETAWI


ASAL-USUL BUDAYA BETAWI

Kebudayaan Betawi secara umum merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.

Diawali oleh orang Sunda, sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.

Waktu Fatahillah dengan tentara Demak menyerang Sunda Kelapa (1526/27), orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon. Sampai JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).

Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628/29) yang tidak mau pulang. Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas. Sementara itu, orang Belanda jumlahnya masih sedikit sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai. Akibatnya, benyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.

Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat Tionghoa (misalnya penduduk dalam kota dan ‘Cina Benteng’ di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, misalnya di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.

Keturunan orang India -orang koja dan orang Bombay tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak di antara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka.

Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.

Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa (demikian Lekkerkerker).

Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar kota.

Oleh sebab itu, apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.

Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.

Rumah Bugis di bagian utara Jl Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang imulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.

Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moors, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. foto pada kartu pos dari awal abad ke 20 menggambarkan rumah-rumah Tiong Hoa di Maester. Jalan ke kiri menuju pasar Jatinegara lama. Sedangkan jalan utama adalah Jatinegara Barat menuju arah selatan. Namun, pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.

Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Moh Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi–dalam arti apapun juga–tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, ’suku’ Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur datau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.

DARI :Jabir Sofyan Khamal