Jumat, 25 November 2011

Setu Babakan Kampung Betawi yang Tersisa


Setu Babakan Kampung Betawi yang Tersisa



Mengenal budaya Betawi, rasanya kurang afdol tanpa menjejakan kaki di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Karena bisa dibilang Perkampungan Budaya Betawi yang terletak di Jalan Setu Babakan ini merupakan pusat dari kebudayaan Betawi yang tersisa.

Sebagai Ibukota negara, Jakarta mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pembangunan di semua sisi gencar d
ilakukan oleh pemerintah. Gedung-gedung bertingkat dibangun di hampir tiap sudut kota. Infrastruktur untuk penunjang denyut kota juga dibangun dan diperluas. Perkembangan ini seakan memberikan pengharapan yang besar bagi masyarakat diluar Jakarta.

Tak salah jika dalam sekejap Jakarta menjadi tujuan utama para pendatang. Dari 13 juta penduduk Jakarta, bisa dibilang sebagian besarnya adalah warga pendatang yang mencoba mengadu nasib di ibukota. Sementara warga asli yang dikenal sebagai penduduk Betawi tersingkarkan ke tepi Jakarta.
Jakarta yang kini sudah tidak lagi milik orang Betawi tidak sama sekali meninggalkan corak budaya aslinya. Corak Betawi di Jakarta hampir tidak terlihat lagi, walaupun ada hanya sebatas aksen penduduknya saja. Saat ini budaya Jakarta sudah merupakan campuran dari berbagai macam budaya yang dibawa penduduknya.

Melihat budaya Betawi tersingkirkan oleh roda pertumbuhan kota Jakarta, para tokoh Betawi merasa cemas dan berinisiatif untuk mendirikan suatu kampung budaya. Hal ini untuk menjaga agar budaya Ibu kota Jakarta tidak lenyap diterjang pertumbuhan. Inisiatif ini pun disambut dengan gembira oleh Dinas Pariwisata DKI Jakarta.

Akhirnya melalui SK Gubernur No 92 Thn 2000 ditetapkanlah daerah SetuBabakan di bilangan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, sebagai kampung budaya. Dipilihnya Setu Babakan bukan tanpa alasan, selain
terdapat aset Pemda yakni Danau Setu Babakan, komunitas Betawi Sekitar Setu Babakan masih memegang budayanya. Sebelum ditetapkannya daerah Setu Babakan, muncul beberapa wilayah lain di DKI Jakarta sebagai kandidat, seperti Rorotan, Kemayoran Srengseng Jakarta Barat dan Condet.

“Masyarakat sekitar Setu babakan masih kental dengan budaya Betawi dalam kehidupan sehari-harinya sehingga bisa mewakili budaya Betawi secara keseluruhan,” ujar salah satu pengurus Perkampungan Budaya Betawi.

Kini setelah 10 tahun berdiri, Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan terus melakukan pembenahan diri, walau belum signifikan dan masih banyak sudut-sudut di perkampungan tersebut yang tak sedap dipandang, namun usaha pengelola dan jajarannya patut diacungi jempol.

Tak pelak, usaha yang dilakukan pun mendatangkan hasil. Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan mulai ramai dikunjungi wisatawan, apalagi setiap hari libur., hiburan yang ditawarkan pun tak lepas dengan budaya Betawi. Setiap hari Minggu, pengunjung disuguhi pagelaran yang menampilkan kesenian khas Betawi seperti Gambang Kromong, Lenong, musik Samrah dan
Topeng Betawi.

Selain itu, bila menelusuri perkampungan seluas 105 hektar ini, pengunjung dapat menikmati rumah-rumah penduduk yang dibangun dengan nuansa Betawi. Rumah-rumah berbentuk khas ini sekarang sudah jarang ditemui di kota Jakarta. Memang unsur modernisasi terlihat dalam rumah-rumah tersebut tetapi arsitektur tetap kental dengan atmosfer Betawi. Hal ini mengingatkan kita akan Betawi tempo dulu.

Sementara itu, danau yang berada dalam kawasan perkampungan berfungsi ganda. Selain sebagai penampung air, Setu ini juga dimanfaaatkan sebagai wisata air. Didanau seluas 65 hektar ini tersedia hiburan menarik berupa motor air dengan tarif yang terjangkau. Dan bagi yang berminat danau ini juga menyediakan areal pemancingan.

Tempat wisata
kerap identik dengan makanan. Begitu juga disini, beragam makanan pun banyak dijajakan. Dereta
n penjaja makanan ini seakan tidak berujung, berjejer rapi di tepi danau. Makanan yang ditawarkan ini tentunya tentunya merupakan makanan khas Betawi. Ada Kerak Telor, Dodol Betawi, Rengginang, Geplak dan Sagon. Makanan ini dijajakan masyarakat dengan harga relatif murah.

Tapi selain berbagai paket wisata unik dan seru yang bisa kita jumpai di tempat ini. Ternyata Setu Babakan juga memiliki aturan khusus yang juga masih berakar pada Budaya Betawi. Diantaranya. Pengunjung diharapkan sudah meninggalkan lokasi mulai pukul 18.00 (Wib), karena menurut pengelola jika pengunjung masih di sini di atas pukul enam tersebut, bisa jadi niatnya sudah bukan lagi berekreasi namun lebih ke hal-hal negatif.

Kemudian yang unik lagi semua kegiatan di tempat ini di usahakan berhenti ketika terdengar suara adzan. “Yah, meskinpun cuma lima menit diusahain berenti dulu dah aktivitas kalo lagi adzan,” tutur Bang Indra. Dan di tempat ini sangat dilarang berjualan minuman keras.
repost: Abam Is

Jumat, 11 November 2011

MENGENANG CONDET

Padahal, dulu banyak orang optimistis Condet bakal menjadi trade mark Jakarta. Berbatasan dengan bekas terminal bus Cililitan dan Pasar Minggu, Condet salah satu kawasan yang 90% penduduknya asli Betawi. Condet tahun 1970-an, versi Condet, Cagar Budaya Betawi karangan Ran Ramelan, terdiri atas kelurahan Kampungtengah, Batuampar, dan Balekambang. Luas selu-ruhnya 632 ha. Balekambang rata-rata dihuni 28 jiwa/ha, Batuampar 35 jiwa/ha, dan Kampungtengah 40 jiwa/ha. Bandingkan dengan tingkat hunian rata-rata di DKI saat itu yang 100 jiwa/ha. Condet kaya akan kebun berpohon rindang. Udaranya bersih, penuh kicauan burung kakak tua jambul putih, bayan, nuri, dan banyak lagi. Monyet melompat dari pohon ke pohon. Rata-rata orang Condet bertanam buah-buahan, terutama duku dan salak. “Salak Condet bahkan masuk buku teks wajib anak-anak SD zaman Belanda, karangan W. Hoekendijk,” bilang Dra. Tinia Budiati, M.A., penulis The Preservation of Betawi Culture and Agriculture in the Condet Area, yang juga direktur Museum Sejarah Jakarta. Pohon duku di Condet banyak yang sudah berumur puluhan tahun. Saat musim duku tiba, hampir saban malam kaum lelakinya meronda di atas pohon, yang punya dahan liat dan kuat. Mereka berjaga dari codot dan kalong, yang konon hanya takut pada pohon yang “dihinggapi manusia”. Condet juga penghasil pisang (terkenal besar dan manis), durian, dan melinjo yang diolah jadi emping. Kabarnya, emping Condet sangat gurih. Kalau di tempat lain, sebelum digecek, melinjo direbus lebih dahulu. Nah, di Condet, melinjo tidak direbus, melainkan dinyanya alias digoreng. Kekhasan Condet juga terlihat dari bahasa Betawi yang mereka gunakan, adat istiadat yang banyak mengambil nilai-nilai Islam, serta bentuk rumah mereka. Rumah asli Condet berlantai tanah, berdinding kayu. Jendelanya dinamai jendela bujang (bertirai batang bambu). Disebut jendela bujang, karena kerap dimanfaatkan bujang untuk mengintip calon istrinya yang dipingit di balik beranda. Serambi muka terbuka, hanya dibatasi pagar kayu setinggi pinggang serta ornamen khas di lisplang. Di belakang beranda ada pangkeng atau kamar tidur. Di antara tiga kelurahan tadi, Balekambang yang paling kuat memegang tradisi. Mereka sangat fanatik dengan sekolah agama. Untuk mendapat ilmu yang lebih tinggi, tak jarang para pemudanya bertualang ke Suriah atau Mesir. Mereka lebih fasih memainkan gambus dan qasidah. Lenong dan gambang keromong masih dianggap sebagai punye orang luar. Leluhur Balekambang bahkan beranggapan, daerah mereka “terlarang” buat orang asing. Pendatang yang hendak berniaga, harus siap-siap bangkrut. “Kutukan” yang kini tak lagi terbukti.

CONDET


Memasuki kawasan Condet dari arah Cililitan dikenal sebagai salah satu pusat kemacetan di Jakarta Timur. Padahal Condet, yang terdiri dari tiga kelurahan (Bale Kambang, Batu Ampar dan Kampung Tengah) luasnya 632 hektare kira-kira lebih separuh lapangan Monas pernah hendak dijadikan Cagar Budaya Betawi. Alasan Bang Ali 30 tahun lalu, karena 90 persen masyarakatnya asli Betawi. Kala itu, 60 persen penduduk Condet petani salak dan duku, 20 persen buah-buahan lainnya, dan hanya 15 persen buruh/karyawan.
Kini, kebun dan tanah pertanian berubah jadi perumahan dan gedung bertingkat. Tidak ditemui lagi duku dan salak condet yang manis dan masir. Pohon-pohon melinjo yang dijadikan emping ketika ratusan ‘home industri’-nya menjamur di Condet kini sudah hampir tidak membekas. Warga Betawi sudah banyak hengkang. Sejumlah warga Betawi yang tersisa, kini tidak lagi menjual tanahnya seperti dulu. Mereka membangun rumah-rumah petak untuk dikontrakan. Hasil kontrakan cukup untuk hidup sederhana.
Banyak warga keturunan Arab dari Jakarta dan Jawa Timur kini tinggal di Condet. Seperti di Jl Condet Raya — jalan raya dua jalur yang selalu macet –, kini banyak penjual minyak wangi, kitab bahasa Arab, madu Hadramaut dan Arab sampai rumah makan penjual nasi kebuli. Tentu saja sejumlah gedung dan kantor penampungan TKW.
Kita mengangkat masalah Condet, karena dalam bulan April ini ada peristiwa besar di sini. Tepatnya pada 15 April 1916, ketika Haji Entong Gendut memimpin para petani di depan rumah Lady Rollensin, pemilik tanah partikulir Cililitan Besar. Pada pertengahan abad ke-17 kawasan Cililitan merupakan bagian dari tanah partikulir Tandjong Oost (kini Tanjung Timur), saat dimiliki Pieter van der Velde.
Setelah beberapa kali berpindah tangan, awal abad ke-20 jadi milik keluarga Rollinson. Sisa-sisa gedung ini yang pernah terbakar masih kita dapati, saat masih jadi rumah peristirahatan Vila Nova. Terletak di depan Markas Latihan Rindam Kodam Jaya (ujung Jl Raya Condet), bersebelahan gedung PP dan Super Indo Market. Kala itu, gedung tuan tanah pekarangannya begitu luas hingga mencakup kawasan Tanjung Barat dan Kramat Jati. Belanda menamakan Groeneveld (lapangan hijau). Di sini terdapat peternakan sapi dengan produksi ribuan liter susu per hari untuk konsumsi masyarakat Belanda di Batavia.
Kembali kepada Haji Entong Gendut, ia seorang berani. Gelar haji menunjukkan ia orang bertakwa. Berlainan dengan jagoan masa kini, waktu itu Haji Entong Gendot pembela rakyat tertindas. Melawan kekuasaan kolonial: tuan tanah yang memeras, dibantu wedana dan menteri polisi yang disebut upas. Syahdan para tuan tanah masa itu tidak kalah serakahnya dengan para koruptor masa kini. Hingga masyarakat bertanya-tanya apakah pemerintahan SBY-Boed bisa memberantas dan menghukum mereka.
Di Condet kekejaman terjadi saat Vila Nova yang sering dikunjungi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk berakhir minggu, dijual pada Lady Robinson, orang kaya berkebangsaan Inggris. Lebih-lebih terhadap petani yang gagal membayar pajak. Dan tuan tanah kelewat getol mengadukan mereka ke landrad (pengadilan) untuk membikin perkara. Akibatnya banyak petani bangkrut, rumahnya dijual, tak jarang dibakar. Termasuk harta miliknya Pak Taba. Dan ketika eksekusi hendak dilaksanakan, rakyat Condet marah dan ramai-ramai mendatangi vila Nova guna menggagalkannya. Itu terjadi Februari 1916.
Insiden kedua April 1916. Waktu itu tengah berlangsung pertunjukan topeng. Dan ketika pertunjukan mendekati pukul 11 malam, terdengar teriakan-teriakan. Acara supaya dihentikan. Perintah datang dari Haji Entong Gendut. Rakyat patuh kepada tokoh kharismatik ini dan mereka bubaran dengan tenang.
Rupanya kala itu Haji Entong ingin membuat pemanasan. Ketika ia ditanya aparat kenapa ia berani nyetop pertunjukan topeng, ia menjawab: ”Demi Agama’. Ia hendak mencegah perjudian. Sambil dengan tegas dan memegang keris ia berikrar: ‘Siap untuk membela petani yang jadi korban kejahatan tuan tanah’.
Kemudian ada info yang memberihu para pejabat di Pasar Rebo dan Meester Cornelis banyak orang berkumpul di rumah Haji Entong Gendut. Ketika wedana diiringi para upas berseru agar Haji Entong keluar rumah, ia dengan suara mantap berkata: ”Saya akan keluar setelah shalat.” Ketika ia keluar, disertai ratusan para pengikutnya sambil berteriak: Allahuakbar..Sabilillah gua kagak takut mati. Pertempuran yang tidak seimpang terjadi. Tapi pihak Belanda kewalahan. Kemudian bantuan datang, dan Haji Entong Gendut tertembak mati sebagai syahid, jenazahnya dibuang ke laut oleh kompeni.
Setelah pemberontakan Haji Entong Gendut dipadamkan, sikap tuan tanah makin kejam. Rakyat yang sudah biasa ditakut-takuti itu akhirnya berani lagi mencoba melawan peraturan tuan tanah yang kejam. Pemberontakan kedua terjadi tidak sampai dengan kekerasan senjata. Ini berupa penjajagan, sampai di mana keberanian antek-antek tuan tanah tadi. Percobaan dilakukan dengan penebangan pohon-pohon besar yang tumbuh di tanah kuburan. Demikianlah pada 1923 terjadi penebangan di tanah pekuburan di Condet, yang mereka namakan Kober. Suatu keberanian melawan tindakan yang diharamkan Belanda.
Setelah itu rakyat Condet makin berani melawan kompeni. Hingga tidak jarang yang menunggak pajak. Ini berlangsung hingga 1934. Dipelopori beberapa orang rakyat Condet mengadukan kepada pengadilan mengenai tuan tanah keturunan Jan Ameen. Rakyat meminta bantuan hukum pada Mr Sartono, Mr Moh Yamin, Mr Syarifuddin dll. Rakyat Condet menang perkara, tetapi seperti diuraikan oleh Ran Ramelan, penulis buku ”Condet Cagar Budaya Betawi”, sejauh ini belum ada keputusan, sehingga datang Pemerintahan Federal. Untuk mengenang kepahlawanan Haji Entong Gendut, pernah diusulkan agar salah satu jalan di Condet diabadikan nama almarhum.
Alwi Shahab

Senin, 24 Oktober 2011


MANG KIDUP DAN SEPEDA TUANYA

Sore nyeng adem, saya ngeliwatin jalan aspal licin di sebuah kawasan perumahan elite, kagak jauh dari kampung saya.Jalan nyeng udah rameeee banget. Motor ama mobil slawar-sliwer. Laen bangat ama jaman saya masih bocah. Dulu, baba saya sering ngajak saya liwat jalan ini kalu mao pegi ke kota. Jalan dari tanah nyeng dulu cumen selebar 1,5 meter, kanan kere, nyeng ada cumen sawah, jalan nyeng jadi becek mblekuk kalu pas ujan turun.
Ngeliwatin jejeran bangunan gedong gede belon jadi nyeng rencananya bakal dijadiin mall, saya ngelancangin sepeda tua nyeng dinaekin ama lakian tua be’uban. Saya sempet ngimpleng sekeledap ke lelaki itu, nyeng kelempengan juga, lagi ngelap keringet di mukanya pake anduk nyeng digantung di lehernya. Romannya, dia cape bangat. Saya terus ngeliwatin dia. Kagak lama, saya brenti terus turun ke pemisah jalan berumput tebel. Saya duduk di situ sebaru ngelietin mobil motor nyeng masih rame slawar-sliwer, pedahal sore udah mulain remeng-remeng. Saya keluarin rokok (kelempengan, bok-bok di situ belon ada larangan ngerokok). Baru berapa isepan, lelaki pake sepeda nyeng tadi saya liwatin, sampe. Dia brenti, terus turun dari sepedanya. Taunya, biar udah tua, badan amang ini kelietan masih keker. Badannya gede tinggi, bongsor bangat. Kalu diukur-ukur, paling tinggi saya cumen selehernya.
Dia duduk di atas rumput kira-kira lima meter dari saya sebaru ngipas-ngipasin anduk ke badannya. Saya langsung bangun ngedeketin dia, terus duduk kira-kira setengah meter di sampingnya. Dia nengok ke saya. Saya nyengir sebaru ngangsrongin sebungkus rokok. “Ngerokok, Mang?” saya nawarin. Dia nyengir dikit sebaru godeg ama ngangkat tangannya. “Kagak, Tong ah. Amang juga punya”. Tolaknya sebaru ngerogoh kantong ama ngunjukin bungkusan rokok kreteknya. Saya manggut dan dia masukin lagi bungkusan rokoknya. “Emang abis dari mana, mang? Romannya cape amat”. Tanya saya lagi. “Iya kuan, tong. Abis pulang dari rumah majikan nyeng sawahnya amang garap”. Dia nyebutin nama tempat majikannya. Saya kaget. Setau saya, paling kagak, jauhnya kurang lebih 20 kilometer dari tempat saya ama dia sekarang duduk. “lah, terus, amang ke sono naek sepeda itu?” Tanya saya gundam sebaru nunjuk sepedanya. “lah iya. Mangkanya ini amang ampe gerah begini. Abisnya pagimana ya? Amang mah cumen punya sepeda doang. Ada motor juga punya mantu, mana rumahnya laen kampung. Amang udah kagak sempet minta tulung, abisnya majikan amang nyuruh buruan ke rumahnya”. Saya mingkin tambah gundam. Kalo dipikir, romannya saya sendiri juga kagak bakalan sanggup naek sepeda sejauh nyeng amang ini tadi samperin, pulang-pegi lagi. Entak-anu, saya ngenalin diri ke amang itu, amang itu juga ngenalin diri ama nama kampungnya nyeng kagak taunya cumen ngelongkapin tiga kampung dari kampung saya. Namanya Mang Kidup, begitu dia nyebutin namanya. Pas ngos-ngosannya udah brenti, dia ngeluarin rokoknya terus mulain diisep, dalem. Ujung-ujungnya, dia cerita soal sawah majikannya nyeng dia garap. Sawah itu, luasnya setengah hektar. Kagak jauh dari kampungnya. Biasanya, sunggal musin motong, dia nyetorin hasil panen dipotong sekean persen buat upah garap. Kagak seberapa emang, tapi kata mang Kidup, lumayan buat makan ampuran kagak ngapa-ngapain. Sawahnya sendiri udah lama abis buat modalin anak-anaknya. Untung aja masih ada orang nyeng percayain sawahnya buat dia garap. Dan kata dia lagi, dia ama keluarganya kudu pinter-pinter ngatur pengeluaran supaya cukup sampe musin panen depan. “Kudu bener-bener imet, tong”. Katanya. Terus tambahnya lagi. “mangkanya, amang nyeng udah pada tua mah cumen bisa mesen, jaman sekarang nyari elmu udah enak, sekolaan udah banyak, kagak kayak jaman amang, mao sekola aja kudu nguyur dulu lantaran jalanan belon ada, mana jauh lagi. Cari elmu nyeng tinggi. Banda bisa bures, tapi elmu kagak bakalan abis, beranak mala’an”. Saya manggut-manggut ngiya’in. tapi pekaranya, mang Kidup sekarang lagi puyeng, mblenger. Lantaran tadi dia dipanggil majikannya cumen mao dibilangin, kalo sebenernya, sawah nyeng udah betaun-taun dia garapin, kagak taunya udah ditawar ama Perusahaan Pengembang Perumahan. Dan majikan mang Kidup udah setuju lantaran harga jualnya cukup tinggi. “Majikan amang mah baru setuju doang, tapi belon mao dibayar. Katanya, dia mao nanya pendapet amang dulu. Lah, entak-anu, amang mao ngomong apa? Itu kan sawah dia? Kalu dia udah setuju, masa ilokan amang nyeng cumen disuruh garapin mao nolak? Kagak jamak, ukanah?” saya diem. Kagak manggut, kagak godeg. Mang Kidup nerusin. “amang cumen bisa ngomong : iya. Jadi, besok tuh tanah mao diukur ama orang-orangnya pembeli. Majikan amang janji, mao bagi-bagi hasil jualan sawah ono. Tapi, duitnya aja belon kelietan, amang udah puyeng duluan”. Saya masih diem, tapi sebagai ganti pertanyaan, saya ngangkat alis. “lantaran apa amang puyeng? Nyeng amang pikirin besok-besoknya. Pagimana kalu tuh duit abis? Amang udah tua, mao kerja apaan lagi buat ngongkosin anak bini?”. Pelan dan takut-takut, saya nyoba buka suara. “Mahap, mang. Bukan aya sok tau, tapi, sunggal orankan rejekinya udah pada ditakerin ama Allah. Kali-kali aja entarnya amang dapet rejeki laen nyeng lebih gede. Kali-kali aja ada orang laen lagi nyeng mao minta tulung sawahnya digarapin ama amang. Syukur-syukur aja”.
“Iya juga sih, tong. Kalu amang kebuatan mikir kayak tadi, jadinya amang kayak orang nyeng kagak percaya ama Tuhan ya? Astagfirullahaladzim. Lagian amang udah tua, ngapa jadi cetek bangat pikiran amang ya? Jamak dah ya? Namanya juga orang lagi puyeng, hehehe…”
Madak-madak, saya ama mang Kidup kaget pas denger suara klakson mobil nyeng bebunyi nyanter. Saya bedua nengok, di sono saya liet ada mobil nyeng brenti. Rupanya, nyeng nyupir ono mobil kaget lantaran ada orang lakian sebaru nyangkil bubu dipundaknya tau-tau nyeberang jalan. Nyeng nyeberang langsung ngeloyor pegi, mobil itu juga terus jalan lagi. Saya ama Mang Kidup sadar, sore udah mingkin peteng aja. Mang Kidup bangun. “Tong, mahap ya? Romannya udah mao maghrib nih. Amang kudu pulang. Rasanya jenga amat maghrib-maghrib masih ayab-ayaban di jalanan. Mana udah tua lagi. malu dilietin ama orang nyeng pada mao jalan sembayang ke langgar”. Saya juga bangun dan nyengir. “Iya dah, mang. Saya juga mao pulang”.
Mang Kidup mulain naekin sepedanya. Dia ngangkat tangan sebelon mulain ngenjut sepedanya pegi. Saya bales ngangkat tangan. Arah pulang Mang Kidup sebenernya sama ama arah saya pulang, tapi saya milih tetep ngikutin dia dari belakang, ada perasaan kagak enak kalo mao ngeliwatin dia lagi. terus, madak-madak timbul pikiran iseng. Diem-diem, saya ambil gambar dia dari belakang, nyuri-nyuri. Terus saya brenti lagi, ngelietin mang Kidup pegi sampe akhirnya dia tambah jauh dan ilang ditelen petengnya sore.
Mahap mang, saya kagak ada maksud jelek nampilin gambar amang di sini biarpun saya boleh dapet nyuri-nyuri. Tapi waktu emang udah bikin banyak perobahan. Ada nyeng baek, ada juga nyeng kurang baek. Mao kagak mao, semuanya kudu diterima. Kalu saya boleh girang-girangin ati, paling kagak, jalanan kampung kita udah jauh lebih licin ampuran dulu nyeng becek, mblekuk, banyak logakan ama anjlogan….


Repost : Abam Is  


KUE BETAWI TEMPO DOELOE

Banyak yang mengenal kue khas Betawi hanya sebatas dodol, roti buaya atau kembang goyang. Padahal masih banyak ragam kue Betawi lainnya yang juga enak-enak dan sekarang sudah mulai langka. Mau tau?

Makanan Betawi Kota

1.
Lapis Legit
Tidak ada bedanya dengan lapis legit yang banyak dijual sekarang, tetapi, lapis legit asli betawi biasanya menggunakan 25 sampai 30 buah kuning telur ayam yang dicampur dengan tepung terigu, susu, dan mentega, lalu ditambahkan dengan bumbu spekkoek, agar aromanya menjadi harum. Pengerjaannya yang membutuhkan ketelatenan membuat lapis legit mahal dan hanya disajikan pada hari lebaran atau hajatan.

2. Sengkulun
Bertekstur kenyal, sekilas mirip kue keranjang yang disajikan saat tahun baru Cina. Hanya saja, sengkulun tidak dibungkus dengan daun pisang dan baru disantap dengan taburan kelapa parut. Bahannya adalah tepung ketan yang diaduk bersama santan dan gula merah, lalu dikukus hingga matang.

3. Kue Kelen
Adonannya hanya terdiri dari susu, telur, mentega yang dikukus hingga matang. Makanya, setelah matang kue kelen ini mirip seperti puding susu. Dulu, kue kelen disajikan dalam cucing (mangkuk kecil dari keramik Cina). Kini, demi alasan kepraktisan, kue kelen dibungkus dengan plastik.

4. Andepite
Kentang yang dihaluskan bersama santan, gula, dan telur, lalu dikukus hingga matang. Lalu dicetak dalam wadah bergerigi. Saat hendak disajikan, permukaannya ditaburi adas manis. Cita rasanya manis legit.

5. Kue Talam
Biasanya terdiri dari dua lapis dan terbuat dari campuran singkong, atau ubi, atau kentang, dengan santan, dan tepung beras yang dikukus. Di pasaran ada talam udang, talam hijau atau talam ubi. Cita rasanya bervariasi: manis (seperti talam hijau dan talam kentang) dan gurih (seperti talam udang).

6. Kue Satu
Pengerjaanya sedikit njelimet karena harus dicetak satu per satu di cetakan kayu, kemudian di ketuk-ketuk cetakannya hingga kuenya keluar. Bahan dasar kue warisan kuliner Cina ini adalah tepung kacang hijau yang ditumbuk bersama gula pasir hingga halus benar. Jika saat dicicipi kue satu meleleh di mulut, berarti kue tersebut terbuat dari tepung kacang hijau asli tanpa tambahan tepung lainnya.

7. Roti Buaya
Sepasang roti mirip buaya oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita sebagai lambang kesetiaan, seperti buaya yang sangat terkenal dengan pasangannya. Oleh karena itu harus diberikan sepasang.

Makanan Betawi Pinggiran

8. Jipang & Berondong
Jipang terbuat dari beras ketan goreng, lalu diaduk dengan cairan pekat gula, dicetak dan dipotong-potong. Sedangkan berondong terbuat dari biji jagung (popcorn) yang dibuat seperti jipang.

9. Dodol
Biasanya disajikan saat Lebaran atau hajatan. Penganan ini terbuat dari tepung ketan, santan dan gula merah yang digodok sampe pekat. Ada juga yang menambahkan bawang goreng dan kelapa gongseng sehingga aromanya wangi. Orang Betawi lebih senang membeli atau memesan daripada membuatnya sendiri karena pengolahannya yang lama.

10. Kembang Goyang
Cetakannya berbentuk sutil yang ujungnya seperti kembang. Setelah cetakan dicelupkan ke dalam adonan encer, digoreng di minyak panas sambil digoyang-goyang hingga terlepas. Karena itulah kue ini disebut kembang goyang. Terbuat dari tepung beras, santan, gula pasir dan kadang diberi tambahan wijen sehingga cita rasanya lebih unik.

11. Wajik
Beras ketan matang yang dimasak kembali bersama gula pasir atau gula merah, kelapa parut dan santan. Untuk pemanis, bisa juga ditambahkan dengan pewarna makanan. Setelah matang, wajik dicetak atau dibungkus dengan kertas minyak.

12. Sagon
Terbuat dari tepung ketan, gula pasir dan kelapa parut yang sudah disangrai hingga kering, lalu dicetak. Bentuk kuenya tergantung pada cetakannya. Ada yang oval, kotak, atau bergerigi. Saat digigit, sagon biasanya terasa agak sedikit keras.

13. Tape Uli (Tape Ketan & Uli Ketan)
Uli (ketan matang yang ditumbuk halus bersama kelapa parut dan sedikit garam) yang putih bersih, lembut dan gurih, paling pas dinikmati bersama tape ketan yang manis. Tak heran jika tape uli jadi penganan khas Betawi istimewa.

14. Geplak
Kue ini mirip kue sagon, namun teksturnya lebih halus, lembut dan lunak. Warnanya putih dan permukaanya ditaburi gula bubuk. Cita rasanya manis. Menyantapnya dengan cara 'dicubit-cubit' dengan tangan.

15. Rengginang
Dibuat dari beras ketan yang setelah diolah kemudian dijemur di bawah panas matahari dan digoreng hingga mengembang. Ada 2 pilihan rasa: rengginang manis dan rengginang asin.

16. Kue Pepe
Cita rasanya manis, terbuat dari tepung kanji dan santan. Lapisannya transparan dan beraroma harum daun jeruk purut. Ada yang lapisannya berwarna putih dan cokelat karena menggunakan gula merah, ada juga yang lapisannya putih hijau karena menggunakan gula pasir dan air perasan daun suji dan pandan. Ada juga yang berlapis putih merah atau pink karena tambahan pewarna makanan.

Jajanan Betawi
Makanan ini biasanya dijajakan keliling kampung dengan cara dipikul atau didorong dengan gerobak. Jika tidak, mereka mangkal di suatu tempat.

1. Kue Pancong Betawi
Kue bercita rasa manis dan gurih ini terbuat dari tepung beras dengan campuran kelapa parut dan taburan gula pasir diatasnya.

2. Kerak Telor
Karena digarang sampai kering hingga berbentuk seperti kerak, makanya sajian ini populer dengan sebutan kerak telor. Terbuat dari telor bebek yang dikocok bersama kelapa sangrai dan ebi, lalu ditaburkan ke atas aronan beras ketan yang dipanggang (selebar piring makan) diatas wajan tanpa tambahan minyak goreng. Cita rasanya gurih dan sedikit pedas. Dimakan hangat dengan taburan serundeng.

3. Kue Putu
Penjualnya memberi tanda kedatangannya dengan bunyi seperti tiupan pluit. Kue putu yang berwarna putih atau hijau dengan bahan dasar tepung beras sudah dicampur dengan air daun suji pandan. Isinya adalah sisiran gula merah. Karena dimasak dalam tabung bambu, kue ini beraroma harum. Disantapnya dengan kelapa parut.

4. Kue Rangi
Terbuat dari tepung beras dengan campuran parutan kelapa dan santan. Dipanggang di atas bara api dalam cetakan besi berbentuk lajur-lajur hingga matang. Dimakan dengan siraman gula merah cair yang dikentalkan dengan tepung maizena.

5. Kue Ape
Mirip serabi dari Solo. Warna kuenya putih atau hijau. Putih karena ke dalam adonannya tidak ditambahkan apa-apa, sedangkan yang hijau karena adanya larutan pandan dan daun suji di dalamnya. Terbuat dari tepung terigu, tepung beras, dan santan yang dikocok hingga rata. Lalu dipanggang dalam wajan mungil diatas bara api hingga bagian pinggirnya kering dan bagian tengahnya berbentuk seperti gunung.

Sabtu, 20 Agustus 2011


BAHASA DAN BUDAYA BETAWI PUNAH ATAU BERMETAMORFOSIS

BAHASA DAN BUDAYA BETAWI PUNAH ATAU BERMETA MORFOSIS.........................Banyak orang betawi yang sudah melupakan adat budayanya. Banyak faktor memang yang mendukung terjadinya hal ini, posisi Jakarta yang kebetulan ketempatan sebagai ibu kota negara, hal ini mengakibatkan perkembangan kota jakarta yang diatas rata-rata daerah lain di indonesia, kemajauan diberbagai aspek serta pertumbuhan jumlah penduduk, baik secara alami ataupun pendatang, jelas sangat mempengaruhi adat kebiasaan orang betawi.

Penggunaan bahasa betawi asli dalam lingkungan masyarakat betawi sendiri sudah semakin jarang dipakai, kebanyakan orang betawi lebih suka memakai bahasa pop jakarta, sebagai contoh penggunaan panggilan “babeh” dan “enyak” dalam keluarga betawi sudah sangat jarang dipakai bukan saja oleh orang betawi pada umumnya, bahkan saya yakin dengan seyakin-yakin-nya jika kita mengadakan survei terhadap para dedengkot betawi yang bergabung dalam bamus betawi ataupun para sesepuh di lembaga kebudayaan betawi, sebagai benteng terakhir pelestari budaya betawi sekalipun, kita mungkin sangat sulit menemukan ada yang masih menggunakan panggilan “babeh” dan “enyak” dalam keluarga mereka. Mungkin istilah-istilah itu sekarang Cuma bisa kita dapatkan pada sinetron-sinetron yang berlatar budaya betawi pada televisi kita.

Begitu pula halnya dengan penggunaan budaya betawi dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan, kita sekarang sangat jarang menyaksikan hiburan khas betawi pada acara-acara orang betawi seperti acara perkawinan atau khitanan. Seingat saya sewaktu kecil, lenong, cokek atau gambang kromong adalah hal yang biasa ada pada acara orang betawi terutama di betawi pinggiran dimana saya tinggal, tetapi sekarang orang lebih suka “nanggap” Dangdut, organ tunggal atau layar tancap pada pesta-pesta mereka, begitupun upacara-upacara adat siklus hidup orang betawi, seperti yang ditulis Yahya Andi Saputra dalam bukunya, sekalipun ada terkesan asal jadi yang penting ada.

Ironis nya beberapa waktu lalu sekelompok orang dari beberapa elemen organisasi betawi berdemo menoalk Aurora Tambunan sebagai kepala dinas Kebudayaan dengan alasan “kurang Betawi”, dan pernah juga elemen pemuda betawi berdemo menuntut pemda DKI membuat semacam peraturan daerah agar gedung-gedung di Jakarta (atau minimal pintu gerbangnya) dibangun dengan arsitektur betawi untuk melestarikan kebudayaan betawi atau setidak-tidaknya menunjukan ciri khas, seperti di Bali atau Sumatera Barat.

Yang jadi permasalahan, rasa tanggung jawab mempertahankan ke-Betawi-an dalam berbahasa dan berbudaya orang betawi kurang sekali. Tetapi kita malah menuntut orang lain untuk melestarikan budaya kita. Jika ciri khas adat istiadat, budaya kita sendiri kita tanggalkan, bagaimana mungkin untuk melestarikannya. Mestinya kita belajar dari suku minang, kecintaan mereka terhadap adat-budayanya membuat mereka membawa adat-budaya itu kemanapun mereka pergi, dimanapun ada orang minang kita pasti dengan mudah menemukan warung masakan padang dengan rumah bagonjong nya.

Keberadaan budaya Betawi, termasuk kesenian tradisionalnya dalam beragam bentuk seperti tari-tarian, teater, nyanyian, musik, dan sebagainya, merupakan aset wisata yang eksotik. Sudah sepatutnya berkembang sebagaimana kesenian tradisional dari etnis lain.Tak sedikit tim kesenian dari Indonesia yang diwakili Betawi pentas keliling dunia, mendapat sambutan luar biasa dimanca negara. Sementara di Tanah Airnya sendiri seolah kurang mendapat tempat. Bahkan regenerasinya pun acap mengalami kendala. Kendalanya, selain besarnya pengaruh globalisasi, generasi muda Betawi juga sangat sedikit yang mau mempelajari sekaligus meneruskan kesenian tradisi mereka.

Permasalahan ini merupakan tanggung jawab bersama untuk kelestarian adat dan budaya betawi. Menggunakan satu bahasa apapun adalah hak pribadi seseorang, tapi bahasa menunjukkan bangsa, bahasa dan budaya menunjukan jati diri kita. Melestarikan adat dan budaya juga salah satu bentuk kecintaan terhadap negara atau daerah kita sendiri. Meskipun sekarang ini kita patut berbangga karena sekarang sudah ada program berita televisi yang menggunakan bahasa betawi sebagai bahasa pengantar nya.

Kemunduran ini tentu sangat memprihatinkan. Kepunahan bahasa adalah juga kepunahan sejarah peradaban. Jika satu kaum berhenti menggunakan suatu bahasa, maka kaum tersebut kehilangan beberapa kemampuan natural dari bahasa mereka. Jika bahasa betawi lenyap, maka satu babak sejarah betawi juga akan hilang.

Memang ada teori yang menyebutkan bahwa betawi sebagai suku berikut adat istiadat serta bahasanya, adalah hasil akulturasi budaya dari suku-suku lain yang datang ke tanah Jakarta yang berlangsung selama ratusan tahun. Kalau kita berpatokan pada teori ini, kita tidaklah terlalu khawatir, karena mungkin saja budaya betawi sedang ber-metamorfosis kedalam bentuk budaya baru yang merupakan gabungan dari budaya yang telah ada dengan budaya pop jakarta yang sekarang berkembang serta merupakan percampuran berbagai budaya dari bermacam-macam suku, sehingga melahirkan budaya yang benar-benar baru.**

RAGAM BUDAYA


LENONG BETAWI

Lenong sebagai tontonan, sudah dikenal sejak 1920-an. Salah satu seniman Betawi terkenal, menyebutnya kelanjutan dari proses teaterisasi dan perkembangan musik Gambang Kromong. Jadi, Lenong adalah alunan Gambang Kromong yang ditambah unsur bodoran alias lawakan tanpa plot cerita.



Kemudian berkembang menjadi lakon-lakon berisi banyolan pendek, yang dirangkai dalam cerita tak berhubungan. Lantas menjadi pertunjukan semalam suntuk, dengan lakon panjang utuh, yang dipertunjukkan lewat ngamen keliling kampung. Selepas zaman penjajahan Belanda, lenong naik pangkat, karena mulai dipertunjukkan di panggung hajatan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.

Saat itu, dekornya masih sangat sederhana, berupa layar sekitar 3×5 meter bergambar gunung, sawah, hutan belantara dengan pepohonan besar, rumah-rumah kampung, laut dan perahu nelayan serta balairung istana dengan tiang-tiangnya yang besar. Alat penerangannya pun tradisional, berupa colen, obor tiga sumbu yang keluar dari ceret kaleng berisi minyak tanah. Sebelum meningkat jadi petromaks.

Walaupun terus menyesuaikan diri dengan maunya zaman, untuk terus survive, lenong harus berjuang keras. Dan ini tak mudah. Tahun 60′-an, masih dengan mengandalkan durasi pertunjukan semalam suntuk dan konsep dramaturgi sangat sederhana, lenong mulai kedodoran. “Rasanya, kini lenong seperti berada di pinggir jurang,”

Itu sebabnya, tahun 70-an, bersama para dedengkot Taman Ismail Marzuki (TIM), bertekad menggaet lenong ke tempat terhormat, lewat revitalisasi lenong. Intinya, memberi kesempatan manggung sebanyak-banyaknya buat para seniman kocak itu. “Agar nama mereka ikut terangkat,”

Di TIM, durasi lenong yang semalam suntuk disunat jadi tiga jam saja. Selain itu, dramaturgi sederhana ikut diperkenalkan kepada pemain. “disana mulai diajarkan dialog, artikulasi, frasa, nuansa dan bloking sebagai bagian dari dinamika pementasan,” Selain itu mereka juga diperkenalkan tata panggung yang lebih realistis. Mulai pemakaian make-up untuk menggantikan cemongan dan bedak, pemasangan hair creppe buat kumis dan jenggot, hingga special effect untuk darah dan luka.

Selama beberapa tahun, lenong ngetrend di TIM dan tempat-tempat pertunjukan lainnya. Anak lenong seperti Bokir, Nasir, Anen, Nirin, M.Toha, Bu Siti, Naserin ikutan beken. Kehidupan mereka pun terangkat lewat tawaran iklan, penampilan di TVRI, bahkan main film layar lebar.

Dibedakan pakaian

Tapi, jangan salah, lenong sendiri banyak macamnya, Cing. Drama rakyat yang populer di TIM dan TVRI, dengan lakon bertemakan cerita sehari-hari seperti rakyat yang tergencet pajak tuan tanah, disebut Lenong Preman. Alasannya gampang, karena pakaian para pemainnya tidak ditentukan sang sutradara. Jadi, boleh pakai baju sesuka hati, asal tak melenceng dari peran.

Di ujung cerita, biasanya muncul jagoan dari kalangan santri (pendekar taat beribadah) yang bertindak sebagai pembela rakyat. Mereka menyebut para jawara itu berkarakter Robin Hood, merampok orang kaya guna menolong si miskin. Nah, karena penonjolan peran jagoan-jagoan itulah, Lenong Preman dinamai juga Lenong Jago.

Jika ada pemain berpakaian preman, mestinya ada juga yang berbaju resmi. Orang Betawi menyebutnya pakaian denes (dinas, red). Sayang, perkembangan Lenong Denes tak seharum rekan-rekannya di kelompok Preman. Barangkali, karena butuh modal besar untuk tampil di panggung. Maklum, pemainnya harus pakai seragam sesuai tuntutan cerita, yang sebagian besar bertutur tentang kisah-kisah 1001 malam.

Pada dasarnya, Lenong Preman dan Denes memang cuma dibedakan dari pakaian yang dikenakan. Karena pakem-pakem lainnya tetap seragam. Seperti aturan bahwa pemain harus masuk dari sisi kanan panggung dan keluar dari sisi kiri. Serta pakem terpenting yang tak bisa ditawar-tawar, musik pengiring gambang kromong. “Di luar itu, ya bukan lenong,”

Gambang kromong sendiri mirip perlengkapan band, terdiri atas berbagai instrumen. Berturut-turut gambang (alat musik dengan banyak sumber suara, terdiri dari 18 buah bilah terbuat dari kayu. Dikenal juga dalam tradisi Jawa dan Sunda), teh yan (semacam rebab berukuran kecil, berasal dari Cina), kong an yan (rebab berukuran sedang, juga berasal dari Cina), shu kong (rebab berukuran besar dari Cina), ning-nong (mirip gamelen Jawa dan Sunda, terbuat dari perunggu).

Selain itu, masih ada kemong (sejenis gong kecil, mirip gamelan Jawa atau Sunda), kromong (gamelan yang dapat menghasilkan 10 sumber suara), kecrek (bilah perunggu yang diberi landasan kayu untuk dipukul-pukul, sehingga berbunyi crek,crek), serta kendang (tambur dengan dua permukaan, berasal dari Jawa, Sunda atau Bali).

Melihat sejarahnya, gambang kromong konon berasal dan berkembang di Betawi Tengah, seperti kawasan Tanah Abang, Senen, Salemba, Jatinegara dan sekitarnya. Di pinggir Jakarta, “Mereka tetap mempertahankan pakem asli lenong, kecuali musik pengiringnya yang diganti tanjidor”. Kok tanjidor? “Karena musik jenis itulah yang berkembang pesat dan menjadi jati diri masyarakat Betawi pinggiran,”. Buat gampangnya, lenong jenis ini kemudian dinamai jinong, kependekan dari tanjidor dan lenong.

Jenis lenong

Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti “dinas” atau “resmi”), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya mengenai kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.

Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam.

Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang dibandingkan lenong denes

Nebeng, tapi diterima

Gencarnya “kampanye lenong” di TIM dan TVRI, bukan hanya membawa dampak positif buat mata pencaharian pelakonnya. Tapi juga menyebarkan pengaruh, orang Betawi menyebutnya sebagai “hikmah budaya”, yakni merasuknya dialek Betawi ke seluruh nusantara. Memang, “hasil finalnya” tak seperti bahasa Betawi baku yang sering terdengar di pemukiman.

Tapi berkembang lagi menjadi “bahasa metro”, karena sudah bercampur dengan idiom-idiom bahasa Indonesia dan daerah tertentu. Toh, Bokir, Nasir, Bu Siti atau Mandra bisa dibilang sukses mensosialisasikan dialek ‘kampung” itu, bahkan “mengangkatnya” menjadi bahasa pergaulan remaja.

Pengaruh lain, berdirinya teater-teater pop yang ke-Betawi-Betawian. Seperti Teater Mama (Mat Solar) dan Teater Mira (Nazar Amir) di tahun 80-an, maupun yang muncul dan ngetop di era 90-an, Lenong Rumpi dan Lenong Bocah. Produk-produk yang nebeng kepopuleran lenong ini terbukti bisa diterima masyarakat, meski masa kejayaannya terbatas.

Sayangnya, kini sang teater rakyat malah terus tenggelam. Frekwensi pemunculannya di televisi mulai jauh berkurang, sementara panggung hajatan mulai enggan mengundang, barangkali karena nama lenong sudah kelewat besar buat menghibur acara kawinan. “Pamornya memang sedang meredup,”

Lenong Preman masih mendingan, karena terkadang masih ada jadwal mentas di Anjungan DKI TMII. Tapi Lenong Denes? Pertunjukannya makin langka, seiring berkurangnya minat para “penanggap”. Tak heran jika pemain lenong muda merasa asing dengan konsep Denes ini. Di sisi lain, pemain yang dulu menggerakkan Lenong Denes, satu persatu dimakan usia, tanpa sempat menyiapkan pengganti.

RAGAM BUDAYA


PERMAINAN ANAK BETAWI

Permainan anak-anak Betawi pada hakekatnya tidak
banyak berbeda dengan permainan anak-anak dari daerah-daerah lain di
Indonesia, terutama dengan permainan anak-anak di Jawa. Anehnya
kesamaan ini bukan dengan permainan anak-anak Priangan, padahal
wilayahnya lebih dekat, bahkan berbatasan dengan Betawi. Hal ini
kemungkinan besar karena banyak suku Jawa yang terdampar di pinggiran
Betawi-yaitu prajurit-prajurit Sultan Agung Mataram yang menyerang
Batavia pada antara tahun 1613-1645.

Beberapa macam permainan
anak-anak Betawi tersebut, perbedaannya hanya pada nama dan nyayiannya
saja, sedangkan esensinya sama. Misalnya nyanyian anak-anak Jawa
“Cublak-Cublak Suweng”, di Betawi juga ada yaitu “Cublak-Cublak uang”.

Kelebihan
permaianan anak-anak Betawi mungkin pada jumlahnya yang kaya
Diperkirakan ada sekitar 40 macam. Ini dapat dimengerti lantaran etnis
Betawi terbentuk oleh perpaduan berbagai etnis. Setiap etnis mungkin
memberikan sumbangan ide dan pola permainan anak-anak dari daerahnya
masing-masing.

Mengapa punah?
Permainan anak-anak Betawi
dewasa ini makin punah. Faktor penyebab kepunahannya sama dengan
penyebab kepunahan unsur-unsur Budaya Betawi lainnya, yaitu pengaruh
kota besar yang terus-menerus dilanda pembangunan yang pesat dan
masuknya moderisasi di sengala bidang kehidupan, baik fisik maupun alam
pikiran. Lenyapnya tanah-tanah kosong tempat anak-anak bermain, serta
hadirnya sarana hiburan yang ditunjang teknologi modern seperti Play
Stastion, Sega, VCD,DVD, dan komputer serta televisi, telah mengurangi
minat anak-anak untuk bermain secara tradisioanal. Padahal keindahan
dan kenikmatan melakukan permainan tranisioanal, relatif tidak kalah
dari sarana hiburan mutakhir.

Pendidikan dan falsafah
Di
dalam beberapa jenis permainan anak-anak Betawi, jika di simak lebih
teliti, sesungguhnya banyak mengandung aspek pendidikan dan falsafah
hidup.

Misalnya permainan Petak Torti. Permainan mencari teman
yang bersembunyi ini biasanya dilakukan malam hari. Padahal kota
jakarta pada waktu dulu tidak seterang sekarang. Masih banyak yang sepi
dan gelap. Banyak pula pepohonan yang rimbun dan semak-semak. Bererapa
tempat bahkan di bilang tempat yang angker alias banyak setannya.

Disini
jelas maksudnya, bahwa anak-anak Betawi yang bermain Petak Torti,
otomatis diajar menjadi orang yang pemberani. Sifat berani penting bagi
kehidupan Betawi yang lokasi etnisnya setiap hari berhadapan dengan
penjajah, pemeras, lintah darat, penjahat, yang terdiri dari tuan-tuan
tanah dan kaki tangannya itulah seba, “Besile di rume ngaji Qur’an.
Turun ke pelantaran maen pukulan”

Ada lagi permainan Tok Tok
Pintu Atau Gali Gali ubi. Permainan ini jelas melambangkan agar anak
Betawi hendaknya bermurah hati. harta-benda kepada yang membutuhkan,
Apabila kita telah merasa cukup dan berlatih. Permainan ini ada
dialognya yang khas, sebagai berikut:

Tok-tok-tok buka pintu!
Siape?
Nenek Gerondong
Minta ape? bedaon atu
Minta ubi
Ubinye baru

Nenek
Gerondong mengulang lagi permintaannya setelah ia berjalan memutar.
Jawabannya yang diterima sudah berubah menjadi “Bedaon tiga”. Barulah
ubi boleh diminta. Itu berarti ubi sudah berdaun cukup, sudah besar dan
masak. Sehingga boleh diminta orang lain. Maka berikanlah, jangan
kikir. Disini, ubi melambangkan harta-benda.

Macam-macam Permainan
Dari
sekian banyak bentuk permainan anak-anak Betawi yang amat spesifik,
terutama karena ada nyayiannya, dapatlah disebutkan disisi sebagai
berikut:

1. Deng-Ndengan
Dimainkan oleh laki-laki atau
perempuan, usia 11 tahun ke bawah. Tiga anak berpegangan tangan sambil
direntangkan. Kemudian mereka berjalan berbarengan sambil bernyanyi:
Deng-ndengan, sirih tampi berduri-duri
Mandi kembang, kembang melati
Bok breoook… !
Ketika menyanyikan kata terakhir “bok breoook”, anak-anak itu berjongkok serempak. Dan begitu seterusnya berulang-ulang.

2. Wak-wak Gung
Dimainkan
oleh anak perempuan dan laki-laki. Dua anak berdiri berpenggangan
tangan membuat lorong. Anak-anak yang lain berjalan berputar membentuk
barisan seperti ular, kemudian memasuki lorong satu persatu. Giliran
anak yang terakhir, anak itu di kurung di dalam lorong. Dan begitu
seterusnya, sambil mereka bernyanyi-nyanyi:
Wak-wak Gung, nasinye nasi jagung,
Lalapnye lalap utan,
Sarang gaok di pu’un jagung, gang-ging-gung!
Pit-alaipit, kuda lari kejepit… sipit!

Disambung dengan nyanyian lain:
Tamtam buku, seleret daon delime,
Pate lembing, pate paku, tarik belimbing, tangkep Satu
Kosong-kosong-kosong! Isi-isi-isi….!

3. Ciblak-ciblak Uang
Seorang
anak membungkukkan Anak-anak lain menaruh tangannya yang dikepalkan di
pungung anak tadi. Di dalam genggaman salah seorang anak ada sebuah
batu kecil. Anak yang membungkukkan badan itulah yang harus menebak,
anak mana yang memengang batu.
Sambil bermain mereka bernyanyi:
Ciblak-ciblak uangnye manggulenteng,
Ambu tata, ambu titi, ketulung bung-bung,
Bok Eran, Bok Eran, si anu mau kawin,
Potong kerbo pendek, potong kerbo tinggi,
Gamelan jegar-jegur.
Ta-em-em, ta-em-em
Kereta-keritu, siape yang pegang batu?
Di depan pintu dipunggut mantu.

Kalau tebakannya tepat, maka anak yang memegang batu harus ganti membungkuk.

4. Ci-ci Puteri
Tangan
terkepal, jempol diacungkan ke atas. Lalu tangan-tangan itu disusun
saling tindih. Tangan yang di atas memegang jembol tangan yang di
bawah, sambil bernyanyi:
Ci-ci puteri, tembako lime kati
Mak None, Mak None, si Siti mau kembang ape?
Siti menjawab: Mau kembang duren!
Pulang-pulang babenye keren!

Kalau Siti bilang kembang terompet, maka anak-anak yang lain akan berseru,”Pulang-pulang babenye ngepet!”
Jadi harus ada persamaan bunyi pada suku kata terakhir.

Aneka Macam Main Petak
Main
petak ada bermacam-macam. Yang penting lawan harus dikenai. Kena dalam
arti”terlihat” atau betul-betul tersentuh.Ada lima macam main petak, di
antaranya:

1. Petak Torti
Ada nyanyiannya yang khas: Torti! Sambel godok ayam puti, cewek montok bau terasi
2. Petak Umpet
3. Petak inggo
Inggo artinya titik awal atau pos. Anak-anak yang dikejar akan terbebas dari kejaran kalau mereka sudah tiba di titik inggo.
4. Petak Jongkok
Anak-anak yang dikejar akan terbebas dari kejaran, kalau mereka segera berjongkok.

Dan
ada banyak lagi permainan lainnya semisal: Pletokan, gundu, tombok,
ketok kadal, congklak, galah asin, jangkungan, sumpritan atau
jumparing, jepretan, main karet, dampu, gangsing, bentengan,
landar-lundur, bekel, olelio, rage, serta beberapa lagi yang belum
tercatat.

Bagaimanapun juga, permainan anak-anak tersebut perlu
digalakkan kembali kendati jaman telah berubah. Perlu diingat perubahan
itu harus memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Untuk itu,
unsur budaya – dalam hal ini permainan anak-anak haruslah pula
digalakkan dan disebarluaskan karena apat membantu manusia mencapai
peradaban yang lebih manusiawi, yang memiliki etika yang baik
dari Jabir Sofyan Khamal